Sunday, March 13, 2011

Tulisan Teristimewa^^

ini tulisan pertamaku di Media (dibantu editing Mas Aal Ali Usman), sebuah proses belajar menulis yang tak bakal terlupa ^^. Di hari itu komunitas bambu runcing memiliki arti, e.. sekarang kemana ya.. komunitas itu??


Judul Buku: Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional, Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar
Penulis: Y. Dedy Pradipto
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 271 halaman


Sebuah stereotip terkenal menyebutkan, "pendidikan adalah jantung negara, maka untuk menilai maju tidaknya suatu negara, bisa ditengok dari kualitas pendidikannya". Pendidikan merupakan barometer untuk bisa melahirkan para pemimpin bangsa yang "berkualitas", sekaligus nantinya diharapkan dapat memimpin bangsa ini sesuai dengan cita-cita luhur bersama.


Kita tak perlu segan mengakui, setelah kurang lebih 62 tahun Indonesia merdeka, sistem pendidikan di negeri ini seperti kehilangan "ruh"nya alias belum menemukan jati dirinya. Fenomena "gonta-ganti" kurikulum misalnya, mesti selalu terjadi setiap pergantian pemerintahan atau menteri. Sebut saja kurikulum 1984, 1975, 1994, CBSA, KBK, dan yang teranyar KTSP, secara nyata semakin mengukuhkan anggapan masyarakat selama ini bahwa memang terjadi curat-marut dalam pendidikan kita.
Ditambah lagi dengan persolan akses pendidikan yang tidak merata. Artinya, pendidikan yang semestinya dapat dikenyam oleh semua lapisan masyarakat, tetapi pada kenyataannya masih banyak generasi bangsa dari masyarakat miskin yang tidak sekolah lantaran mahalnya biaya pendidikan. Maka berangkat dari kegalauan itulah, muncul pendidikan alternatif- eksperimental yang digagas YB Mangunwijaya (alm) dan diwujudkan secara konkret dengan mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental Mangunan (SDKEM) sebagai reaksi atas anggapan kurang tepatnya kurikulum nasional yang dibuat pemerintah.

Usaha eksperimental ini kemudian ditelusuri secara detil dan mendalam oleh Y. Dedy Pradipto, yang dikemas sangat menarik dalam sebuah buku gemilang berjudul Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional, Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar ini.
Dalam buku ini, Dedy menurut saya tidak hanya mengaji pemikiran Romo Mangun (panggilan akrab Mangunwijaya) secara deskriptif-analitis, tetapi lebih dari itu telah mampu mengkontekstualisasikan pemikiran-pemikirannya dengan realitas kekinian atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali berseberangan dengan pendidikan model SDKEM.
Romo Mangun telah menerapkan prinsip-prinsip pedagogi modern ala Paulo Freire dan Ivan Illich, yaitu pendidikan adalah proses pemanusiaan yang berarti pembebasan manusia dari berbagai tekanan kekuasaan, termasuk kekuasaan politik sektarian, kurikulum baku yang terpusat, penyeragaman ujian nasional yang kaku, dan kekuasaan birokrasi pendidikan. Artinya, secara riil SDKEM dapat dikatakan sebagai reaksi "perlawanan" atas kurikulum nasional yang dibuat pemerintah karena dinilai tidak bisa menjawab kebutuhan pendidikan yang cocok untuk kita saat ini.
Uji Coba
Ada dua hal yang perlu ditegaskan di sini. Pertama, soal pilihan Romo Mangun memilih Sekolah Dasar (SD) sebagai "uji coba" yang kemudian sampai sekarang mencapai keberhasialan cukup/sangat memuaskan. Menurut Mudji Sutrisno, dalam kata pengantarnya mencoba menangkap maksud Romo Mangun itu, yang menurutnya bisa dinalar secara sederhana. Mahasiswa hanya main hafalan, ambil jalan pintas, berlogika rancu, dan membebek diktat. Ternyata itu merupakan hasil SLTA. Para siswa terbiasa menyontek, tidak eksploratif, dan tidak kritis, yang itu merupakan hasil SLTP. Jadi, memperbaiki edukasi di Indonesia harus dimulai dari SD, sebab yang harus dibenahi adalah persoalan yang mendasar (hlm 10).
Kedua, terjadinya benturan kepentingan antara negara melalui kebijakannya yang mengharuskan keseragaman kurikulum secara nasional, dengan kurikulum pendidikan alternatif yang ada. Pertentangan ini oleh Dedy disebut kontestasi kekuasaan dalam pendidikan dasar sebagaimana dapat dipahami secara tersurat di judul buku.
Menurut Dedy, permasalahan kontestasi kekuasaan yang ditemukan dalam fenomena SDKEM menjadi titik pijak untuk memperbincangkan teori kekuasaan dalam pendidikan, khususnya kontestasi kekuasaan antara pendidikan dan negara.
Konsep kekuasaan ditelaah dengan referensi konsep kekuasaan menurut Michael Foucault yang menunjuk pada konstelasi kekuasaan dan bagaimana kekuasaan tersebut menyebar dan mempengaruhi dunia pendidikan alternatif di Indonesia-khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan.
Kekuasaan bukan sebuah benda yang bisa dimiliki, diberikan, atau dipindah-tangankan. Seseorang tidak bisa memiliki kekuasaan, mendapatkannya atau memberikannya pada orang lain. Kita tidak bisa melihat kekuasaan. Namun kita bisa "melihat" bagaimana kekuasaan bekerja di dalam hubungan-hubungan manusia.
Akhirnya, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan masyaratak, baik dari praktisi dan pemerhati pendidikan, pengelola, aktivis kampus (mahasiswa), LSM hingga orang tua murid. [Fika Murdiana R, pencinta buku, dan bergiat di Bamboo Runcing Community Yogyakarta]



4 comments:

  1. wah, huebat penulis kita yang satu ini...
    sudah berapa buku sampe sekarang?

    ReplyDelete
  2. Biasa saja, kalau buku sih sudah banyak. tapi kalau buku yag ditulis belum ada. hehehehehe

    ReplyDelete
  3. Komunitas Bamboo Runcing ku tersayang, komunitasku yang malang.Walaupun tak eksis lagi alias R.I.P, anggotanya tetap eksis menulis. ayo kunjungi blog-ku cuz www.kimmirock.blogspot.com
    Saya tunggu kritikannya.

    ReplyDelete

toelis komentarmu