Saturday, July 30, 2016

Cerita Lebaran Asyik: antara Jogja & Malang

mudik naik kereta api tut..tut..tut
Mudik di hari raya Idul Fitri mungkin suatu kata yang selalu dinantikan umat muslim Indonesia di setiap tahunnya. Bagaimana tidak? Lebaran adalah momen ketika semua anggota keluarga berkumpul, pulang ke kampung halaman, bersilaturahmi, berbagi, dan ketika semua orang berada di tempat asalnya masing-masing. Siapapun mereka yang hidup di perantauan, mereka yang punya kampung halaman pasti nelangsa kalau tak bisa mudik lebaran. Lalu biasanya mereka hanya bisa sungkem, bermaaf-maafan lewat sambungan telepon dengan orang terkasih. Acapkali saya mendapati tanggisan haru bercampur dengan penyesalan.

Untung bukan saya, meski selalu mudik tiap tahunnya, meski tidak selalu di hari pertama Idul Fitri, lebaran di kampung halaman adalah suatu hal yang perlu diperjuangkan, bahkan ketika tunjangan hari raya (THR) suami tidak cair hehehe... Untuk itu saya perlu persiapan yang matang, bahkan setahun sebelumnya saya sudah mulai mencicil mempersiapkan dana khusus untuk mengisi pernak-pernik bulan Ramadhan dan lebaran. Jadi beginilah bedanya lebaran saya dulu semasa masih lajang dan sudah menikah.

Menikah berarti mempunyai tanggung jawab lebih kepada sesama, termasuk kepada orang tua. Setelah menikah otomatis kewajiban kita terhadap orang tua menjadi lebih banyak tinimbang hak kita sebagai anak. Ya itulah yang saya rasakan, dulu sih merasa cuek saja ketika saya tidak mempunyai sesuatu lebih untuk dibagi. Kalau sekarang, saya merasa harus ada yang bisa kita berikan ke orang tua, harus ada yang bisa kita bagi untuk sanak saudara meski itu sedikit. Dan alhamdulillah Allahu Akbar, Allah selalu melapangkan rizki umatnya yang sudah berumahtangga dan berniat berbagi. Rizki Allah mengalir dari segala penjuru dan dari arah yang tidak disangka-sangka. Dana tahunan tersimpan di tabungan, THR kalau ada, dan bonus tambahan dari kolega tentunya kalau ada.
Saya sendiri baru mengalami mudik tiga kali, sejak bersuami. Kampung halaman saya di Malang, saya dan suami tinggal di Jogja, begitupun dengan keluarga besar suami ada di Jogja. Pilihannya adalah berlebaran di mana? di Jogja kah atau di kampung halaman saya di Malang.

Lebaran pertama di Jogja: Culture Shock
Awalnya berlebaran pertama kali di Jogja tak membuat saya merasa berbeda dengan berlebaran di Malang. Orang bersalaman, bermaaf-maafan, kumpul keluarga, makan bersama, bersilaturahmi. Semua sama kecuali satu, yaitu tradisi sungkeman. Di kampung saya Malang, sungkeman waktu lebaran cukup dengan bersalaman lalu ijab kabul, meminta maaf dan dimaafkan. Bahkan terdengar seperti soal yang mudah, sepele dan cepat berlalu.

Tradisi sunggkeman di Jogja tidak begitu, orang yang lebih muda berkunjung ke saudara yang lebih tua. Yang muda sungkem ke yang lebih tua, tentu saja ijab kabulnya berbeda. Saya sempat gerogi karena suami saya belum pernah melatih saya untuk sungkeman ala Jogja, mungkin ia pikir tradisi sungkeman dimanapun sama. Dan benar saja, sewaktu saya sungkeman pertama kali di keluarga besar suami saya gerogi mengucap kata-kata. Semoga saja keluarga besar suami mengira saya sangat menghayati sunggkeman sampai belepotan mengucap kata hehehe..

Karena kata-kata asli sungkeman ala Jogja lumayan panjang dan memakai bahasa jawa halus, saya memilih yang simpel-simpel saja contohnya "ngaturaken sugeng riyadi minal 'aidin wal faizin sedoyo lepat nyuwun panggapunten" mengucapkan selamat idul fitri minal 'aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin. Lalu orang yang saya sungkemi akan mengabulkan permohonan maaf saya, memberi doa dan nasehat hidup.

Sekarang saya masih muda, masih belum menjadi orang tua yang dituakan. Sungkeman membuat saya banyak merenung dalam. Kalau nanti saya tua, akankah saya siap memberi nasehat dan tentu saja menjadi suri tauladan yang baik untuk anak-anak kelak. Memberi nasehat tentu saja saya sudah menjalani dan mengamalkannya. Menjadi tua harus mulai berbenah dan menanta diri.
Sungkeman keluarga besar di Malang
wefie edisi idul fitri

Tradisi Kupatan
Saya tumbuh di lingkungan keluarga abangan dan santri, yang saya tahu, kaum abangan bermain dengan simbol yang mempunyai makna. Salah satunya adalah ketupat yang berarti "kula ngaku lepat" atau saya mengaku salah. Di kampung saya di Malang, ketupat bersama lepet, lontong dan lodeh sayur dibuat sepekan setelah Idul Fitri. Setelah kupat masak akan dibagi ke tetangga sekitar. Keluarga yang sudah membuat ketupat bisa jadi diartikan sudah menutup waktu lebaran. Bahkan ada keluarga yang sudah membuat ketupat dalam sepekan Idul Fitri, karena mungkin ada anggota keluarga mereka yang akan kembali ke perantauan, kembali beraktifitas seperti biasanya.

Tahun ini saya tak mendapati banyak ketupat, mungkin hanya dua atau tiga porsi saja. Belakangan mama saya memberi tahu kalau tradisi kupatan terlalu merepotkan. Mama saya tahun ini juga tidak membuat ketupat karena terlalu sibuk membantu persiapan beberapa tetangga yang punya hajatan secara bersamaan. mungkin juga tetangga lupa karena sibuk dengan hajat masing-masing sehingga lupa memasak ketupat. Semoga tradisi ini tidak punah karena banyak anak muda yang tidak bisa membuat ketupat, lepet dan lontong. Tapi meskipun saya tidak banyak makan ketupat seperti lebaran sebelumnya, saya tetap bersyukur karena setidaknya kadar kolestrol dalam darah masih terkontrol hehehe...

Alhamdulillah 'ala kulli haal lebaran kali ini saya masih diberikan kesempatan umur sehingga bisa bersilaturrahmi, mudik, berbagi ke sesama dan membaktikan diri ke orang tua. Semoga lebaran tahun depan juga masih diberi kesempatan. Amin

oh yaa, bagi kamu yang ada atau kebetulan berada di Jakarta dan sekitarnya, akan ada event Hari Hijaber Nasional di tanggal 7-8 agustus di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Akan ada pesohor yang hadir di acara tersebut. Kalau jarak Jogja-Jakarta cuma bisa ditempuh dalam lima menit dan kalau ada tiket pesawat gratis pasti saya tak akan melewatkan untuk datang kesana hehehe



*tulisan ini diikut sertakan dalam lomba blog "CERIA: cerita lebaran asik" yang diadakan oleh @Diaryhijaber