Thursday, February 12, 2015

Pramku

Namanya Pramudya Alif al-Ghifary, baru setahun yang lalu ia lahir. Melengkapi kebahagiaan keluarga besar kami, cucu pertama laki-laki dalam keluarga saya. Serba yang pertama

20 agustus 2013 beberapa hari setelah libur lebaran usai, saya masih sibuk menyiapkan perhelatan selamatan ke -100 hari wafatnya buyut. Masih lincah kesana kemari dengan perut besar. Mencari kinangan untuk sandingan, menyiapkan apem, lantas membuat kopi dan teh. Waktu begitu cepat berlalu hingga acara selamatan selesai, tinggal beberes dan membersihkan sisa-sisa nasi yang menempel pada karpet. 

Waktu itu sudah tiga minggu lamanya tidak memeriksakan kandungan saya ke bidan, cukup lama untuk ukuran hamil tua. Kecuali hanya beberapa kali iseng diperiksa oleh kakak sepupu saya yang kebetulan bidan dan perawat. Janin sudah pada posisinya, dan sudah memasuki pelvis ibu. Dengan perkiraan berat 3kg, cukup besar. Mama saya minta tolong ke om saya untuk mengantar kontrol ke bidan. Kebetulan jarak nya lumayan jauh; lintas kampung. Sesampainya disana bukan bidan yang saya tuju yang memeriksa kandungan, melainkan asistennya. Agak kurang yakin dengan diagnosisnya, namun saya iyakan saja apapun perkataannya. Seperti untuk tidak mengkonsumsi vitamin c lebih dari 1000 gram, meminum vitamin otak, dan tentu saja hari perkiraan lahir (HPL) bayi saya yang masih lama sehingga asisen bidan tersebut meminta saya untuk datang kembali 2 minggu kemudian.

Pemeriksaan berjalan lancar, tak ada satupun berita mengejutkan soal tanda-tanda si bayi akan lahir, jadi biasa saja.  Mama saya jadi tak semangat meneruskan pertanyaan soal si bayi, lantas bersiap tidur saking capeknya seharian sibuk di dapur. Pekerjaan menyiapkan dagangan pasar pun beralih ke saya. 

Sambil melahab habis cenil yang saya beli sepulang dari bidan tadi saya melanjutkan pekerjaan rumah. Berhenti sebentar karena sayerasakan pegal lalu keluar rumah melihat keramaian yang ada. Beberapa ibu-ibu berlatih baris berbaris untuk lomba 17-an agustus. Suasana riuh, suara peluit ditiup tanda komando, hentakan kaki dan tawa canda bocah berlarian. Malam itu saya masih sempat bertemu dengan tetangga, berbicara soal perut dan tanda akan melahirkan. Sempat berebut tempat duduk dengan si Mohan. Dan akhirnya saya kembali pulang, mengerjakan bungkus membungkus.

Selesai dengan pekerjaan bungkus-bungkus, saya bersiap tidur. Aneh, biasanya saya mudah tidur terlelap tapi tidak malam itu. Sebentar-sebentar terbangung, punggung berasa pegal. Waktu itu saya masih terpikir kalau pegal yang saya rasa adalah efek duduk terlalu lama. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 1.30 pagi. Mama dan papa terbangun bersiap ke pasar. Saya mulai merasa mulas tiap seperempat jam sekali. Tapi saya masih ragu apakah ini pertanda kontraksi atau bukan. Lalu beberapa saat kemudian saya merasa ada sesuatu yang keluar dari vagina, dan benarlah saya mulai flek pembukaan pertama. Tanpa ragu lagi saya langsung bergegas memberi tahu mama saya. Tanpa berniat membuat heboh isi rumah, tapi ternyata memang harus heboh yaa.. Papa saya panik mencari kunci mobil, lalu kunci garasi. Mama saya sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa. Lalu acara ke pasar pun gagal, demi cucu pertama.

Dan akhirnya saya sudah berada di dalam mobil. Melaju menuju rumah kakak saya di kepanjen. Ada banyak alasan kenapa saya ingin melahirkan di tempat praktik kakak saya. Bukan bidan dekat rumah ataupun rumah sakit. 

***
Singkat cerita, oh ternyata begini rasanya melahirkan. Mulas amat menyiksa yang pernah kuras sepanjang hidup. Setengah mampus menahan mulas selama kurang lebih 4 jam. Masih tergolong singkat. Olala...  selama 4 jam saya mondar-mandir mengelilingi rumah, melihat Shafa yang tengah tidur pulas di kamarnya, menimbang badan jumbo saya sembari ngemil, makan sepuasnya, lalu muntah, boker sembari menahan mulas. Kembali keliling rumah dan saya selalu meringkuk di lantai ketika mulas kembali datang. 

Pukul 06.00 akhirnya, Shafa dan Aan sudah rapi berseragam, bersiap berangkat sekolah. Begitu juga kakak ipar saya, mas Watik. Bersiap dengan baju kebesaran prajurit. Papa saya sudah pulang ke rumah sedari tadi subuh. 

06.10 hanya ada mama dan mbak di rumah, sementara saya berada di ruang bersalin sendirian. Hingga saya merasa ada yang mendorong isi perut ke vagina, tapi masih saya tahan. Spontan saya teriak "mbak Titi..iki ono sing metu!!" Mbak saya bergegas datang, cekatan khas seorang Bidan, disusul mama saya yang masih kriyip-kriyip dari dalam kamar Shafa. Hampir pembukaan penuh kata mbak saya, itu artinya saya segera bersiap, tak lama lagi saya segera menimang bayi, menjadi ibu.

Hal horor yang saya takutkan sama sekali tak terjadi, bahkan jarum suntik yang biasanya nyeri sama sekali tak berasa suntikannya, masih kalah sakit dibanding nyeri mulas dan kontraksi vagina. Oh ternyata sesakit ini rasanya melahirkan. Ampun maa..!! Karena ketuban belum pecah, akhirnya dipecah untuk mempermudah proses persalinan. Dan saatnya tiba untuk mengejan, butuh tenaga ekstra, perjuangan sampai nafas terakhir.

Ternyata tak butuh waktu lama mengejan, bayi 3 Kg ditarik keluar begitu kepala bayi sudah berada di luar. Diiringi tangis bayi yang begitu memecah keheningan. Mama saya bahagia tak terkira karena tahu cucu pertamanya ternyata laki-laki sehat wal-afiat.



Saya tak perlu berlama-lama lagi di rumah kakak, keluarga besar di rumah sudah menunggu. Ingin tahu paras keluarga baru mereka. Saya segera di boyong ke rumah