Wednesday, April 24, 2013

2 Jam di Banten Lama

Sehari sebelumnya saya bersama suami dan satu saudara menyisir sungai Ciberang di daerah Rangkasbitung, Banten. Malam harinya kami kembali ke kota Serang lalu bermalam disana.

Serang, ibukota propinsi Banten mengingatkan saya pada kota mukim "Balada si Roy"-nya Gol a Gong. Saya masih mengingat gambaran susana alun-alun kota. Pasar dadakan yang sekarang dikenal dengan daerah Royal, dan Banten lama. Ah, tempat terakhir ini yang akhirnya ingin saya jelajahi selain pemukiman Baduiy di Rangkasbitung.

Banten lama tak jauh dari kota Serang. Bisa ditempuh sekitar 15 menit menggunakan transportasi umum tujuan pelabuhan karang hantu. Pelabuhan ini dulunya merupakan pelabuhan internasional dimana banyak kapal dari berbagai negara melego jangkar. Tapi sekarang, seiring waktu dan pendangkalan sungai di Karang Hantu. Nama pelabuhan ini tenggelam namanya. Di peta dunia yang dibuat oleh Inggris pada tahun 1800-an mencantumkan nama Bantam untuk menandai keberadaan penting Banten di mata dunia internasional. WOW..

Angkot yang kami naiki melaju mendekati pantai utara jawa. Udara semakin panas karena matahari hampir berada diatas ubun-ubun, kami merasa telah berada di oven berjalan yang sesekali tergoncang-goncang karena banyak jalan berlobang. Beruntung di kanan dan kiri jalan masih ada beberapa pohon yang menawarkan kesejukan sekejap. Perjalanan menuju Banten lama, tak lama lagi setelah kami melintasi reruntuhan istana Kaibon, tempat tinggal ibunda sultan, Ratu Aisyah.

Angkutan yang kami tumpangi berhenti di samping benteng Surosowan, di seberang benteng masih terlihat kanal air yang kering melompong. Dari susunan batu-batanya terlihat jika kanal-kanal tersebut merupakan bagian dari infrastruktur kota Banten Lama. Tapi entahlah, mungkin dugaan saya salah. Dahulu saya pernah mendengar jika kanal-kanal sungai yang ada di Jawa digunakan sebagai jalur transportasi air, seperti di Majapahit.

Kami beralih menuju jalan setapak yang mengarah ke masjid agung Banten Lama. Kami harus memutari jalan yang sengaja dibuat berkelok-kelok oleh para pedagang yang menggelar dagangan di lapak-lapak semi permanen berterpal. Banyak penjual jasa tukar uang koin receh "untuk ngasih ke kotak amal atau pengemis mas.." Tukas penjualnya, 5000 rupiah untuk harga 4000 uang koin. Rekan saya menukar uang sepuluh ribuan dengan pecahan 200 perak, belakangan koin-koin tersebut samasekali tak terpakai di dalam hehe..hehe. Karena di dalam lebih banyak kotak amal liar yang ditunggui oleh pemuda berkopiah. Jadi, kami merasa sungkan jika memasukkan koin-koin 200 rupiah. Terpaksa uang pecahan duaribuan dan lima ribuan yang keluar dari saku. Ups..

Kami bergegas memasuki area masjid yang memiliki menara setinggi 18 meter. Dalam area masjid terlihat beberapa peziarah yang ingin ke makam keluarga pembesar Banten, beberapa penjual kantong kresek yang memaksa peziarah, dan beberapa pengemis yang mengiba. Penasaran dengan lanskap bekas kerajaan Banten, kami naik keatasnya. Tak ada loket masuk pengunjung memang, tapi ada kotak infaq (iuran faksa *eh) yang menghadang di pintu masuk menara. Sesampai diatas, kami juga masih dihadang lagi dengan kotak infaq. Olala..

Pemandangan Banten lama dari menara lumayan membantu kami menentukan destinasi berikutnya setelah masjid dan museum. Sejauh mata memandang terlihat pantai, reruntuhan benteng Surosowan, benteng Spelwijk, dan rumah warga yang terlihat kotak dari ketinggian. Turun dari menara, kami mengurungkan niat mengunjungi makam yang berada di sebelah masjid. Terlalu ramai hingga membuat antrean panjang dan deretan "pungutan liar" yang ada. Sempat bimbang, namun akhirnya langkah kami ayunkan menjauhi area masjid menuju reruntuhan dekat pantai yang ditunjuk salah satu rekan.

Inilah reruntuhan benteng Spelwijk, benteng yang dibangun menghadap pantai oleh Inggris. Di luar benteng terdapat bangunan tanpa pintu dan jendela, bangunan tersebut adalah pusara orang-orang inggris yang wafat disana. Terdapat prasasti di setiap bangunan, bahwa disini ada orang yang dimakamkan dan tanggal wafat orang tersebut. Kondisi benteng Spelwijk tak ada bedanya dengan reruntuhan lain yang ada di Banten, tak terawat. Bahkan hampir beralih fungsi menjadi lahan gembala ternak dan lapangan bola.

Well.. Daripada kami bengong memandangi reruntuhan yang bisu, kami menghampiri warung yang berada di sekitar benteng. Terlihat beberapa pekerja yang sedang mengambil rehat di tengah serbuan udara panas Banten. Mereka menyambut kami dengan ramah, khas orang desa.

Saya memulai obrolan seputar benteng Spelwijck, apa saja yang istimewa dan bagaimana cerita warga sekitar tentang benteng ini. Ternyata tak ada yang istimewa dari benteng ini. Obrolan beralih ke Makam orang-orang terdahulu dan beberapa yang dikeramatkan. Ada makam sesepuh orang Baduiy di sekitar sana, tapi warga menyarankan kami tak usah kesana karena bisa membawa petaka. Dan, satu lagi makam keluarga sultan yang ada di pulau sebrang. "Oh ya?" Kawan saya yang satu ini selalu tertarik dengan tempat ziarah baru yang jarang dikunjungi orang. Sayang tak ada angkutan ke pulau sebrang, kami harus menyewa kapal motor dari Karanghantu. Dan itu tidak murah :p

Jam tangan, sudah menunjukkan pukul 13.00 kami harus kembali ke Serang, menanti bus yang akan membawa kami pulang ke Jogja. I'll be back.. 
Benteng Surosowan dari ketinggian menara

makam kuno di benteng Spellwijck