Thursday, December 17, 2009

Laku batin malam 1 suro


Suasana malam 1 suro di sekitar keraton Yogyakarta berbeda dari malam-malam biasanya. Terlihat rombongan tua-muda dan beberapa orang yang berpakaian adat jawa tanpa alas kaki mengelilingi benteng keraton. Bukan pawai budaya atau pun jalan sehat, melainkan inilah yang disebut sebagai ritual topo bisu mubeng benteng menjelang 1 suro. Ritual ini dimulai dari alun-alun utara berjalan melawan arah jarum jam mengelilingi benteng keraton dengan membisu tanpa mengelarkan sepatah kata sepanjang perjalan. Di setiap pojokan benteng terlihat beberapa orang berpakaian adat jawa berhenti dan mengucap doa mendoakan keselamatan keraton agar terhindar dari marabahaya.
Sejarah ritual mubeng benteng berkembang sejak sebelum zaman Mataram Islam, di adopsi dari tradisi jawa asli yaitu muser atau munjer yang berarti mengelilingi pusat dalam hal ini adalah keraton. Dahulunya, ketika tembok benteng keraton di Kotagede selesai dibangun bertepatan dengan 1 suro 1580. Para prajurit dan abdi dalem keraton rutin menjaga keamanan seputar benteng. Dalam keheningan mereka bedoa dalan hati untuk keselamatan. Kemudian tradisi mubeng benteng inilah yang berkembang di masyarakat dan diikiuti oleh ribuan masyarakat Yogyakarta pada malam 1 suro.
Tidak hanya sekedar berkeliling, mubeng benteng juga merupakan simbol laku batin untuk lebih siap mengahadapi segala kemungkinan di tahun mendatang. Dalam hening dan pandangan mata lurus kedepan mereka mendengarkan hati nurani.
Bagi orang yang berasal dari luar kota Yogyakarta tradisi mubeng benteng tembok keraton ini terbilang unik. Banyak di antara mereka yang menonton di pinggir jalan, bahkan tertarik mengikuti orang-orang yang berjalan keliling untuk sekedar merasakan laku prihatin.