Friday, March 18, 2011

Jelajah Timur Pulau Jawa Part #2

Kawah Ijen (eksotis atau memprihatinkan?)

Kawah ijen bertabir
Saya beranjak meninggalkan kota Banyuwangi pada pukul 08.00 menuju arah terminal Perot-Kecamatan Licin atau Desa Jambu yang biasanya dilewati oleh Truk pengangkut belerang dari kawah Ijen. Ternyata suasana di terminal Perot cukup lengang, tidak ada angkutan desa, hanya ada satu mobil pickup yang dirancang seperti angkutan. Menurut informan, angkutan menuju Desa Jambu memang langka dan mahal karena jarang penumpang dan kondisi jalanan yang rusak parah. untuk sampai disana kita perlu menyewa kendaraan atau ojek paling tidak seharga 25.000,- cring** per orang. 

Dengan terpaksa saya menyewa pickup menuju Jambu karena tak ada pilihan lain. Sepanjang perjalanan ke Jambu jalanan rusak, lapisan aspal sudah pada mengelupas, membuat badan pickup yang ku tumpangi tak henti-hentinya menguncang badanku. Untungnya, pemandangan sekitar mampu mengobatinya, sebelum sampai di Jambu kami melewati perkebunan Kali Bendo yang sejuk, sepanjang jalan dipenuhi dengan deretan tanaman kopi, coklat, cengkeh dan karet. Tak terasa, kami sudah sampai di tempat tujuan menanti truk pengangkut belerang lewat.

Sesampai di pos ojek Jambu, waktu menujukkan pukul 10. Tak ada tukang ojek, hanya ada beberapa siswa SD yang nongkrong menghabiskan waktu istirahat. Selang beberapa jam belum ada tanda-tanda truk atau kendaraan lain yang naik ke atas. Hatiku mulai kecut.. ~_~, rasa-rasanya seperti terlantar entah sampai kapan. Beberapa saat, ada pengendara motor yang menghampiri kami, namanya Pak Bibit. Bapak ini sudah mengira kami ingin menuju kawah Ijen dan sedang menunggu tumpangan truk belerang. Kebetulan sekali, bapak ini juga sedang menanti truk belerang yang lewat di pos Jambu untuk mengankut kayu bakar ke atas. Pak Bibit ini adalah salah satu pegawai di Pos paltuding yang bertugas menjaga toilet, bersama istrinya ia juga sekaligus menjual kayu bakar untuk para pengunjung. 

pemasakan belerang di Dusun Ampel Gading
Dengan ramah, pak Bibit menawarkan kepadaku untuk beristirahat saja dirumahnya dan melihat pengolahan belerang di dusun Ampel Gading. Awalnya saya menolak karena saya enggan membuat repot, tapi karena Pak Bibit dengan senang hati memaksa untuk mampir kerumahnya, saya ikuti saja^^. 

Di Ampel Gading ini hanya ada satu tempat pengolahan belerang, tempatnya di tengah-tengah perkebunan kopi robusta. Di tempat inilah semua belerang dari kawah Ijen dimasak sebelum disetor ke pabrik dan dikemas dalam karung-karung putih. Asap dan bau belerang membuat tenggorokan terasa pahit dan mata berair. Tapi para pekerja terlihat begitu biasa dengan hanya menggigit kain basah. 

Setelah mengunjungi tempat pemasakan belerang, kami singgah di rumah Pak Bibit dan bu Pipit (serasi sekali namanya ^^). Sembari menunggu truk belerang yang akan mengangkut kami ke Paltuding, ibu menyediakan kopi untukku. mantab. 

Selang beberapa waktu truk belerang datang menghampiri. Perjalanan menuju Paltuding dimulai. (lagi) Kami mulai melewati jalanan berbatu tanpa aspal menanjak dalam situasi hujan lebat sehingga membuat jalanan semakin licin. Menurut pak Sunandi, sopir truk belerang, ia dalam seminggu harus pijat dan minum jamu dua kali agar badan tetap sehat. waw.. wajar saja, saya yang baru kali ini saja merasa badan digebuki dan tegang sepanjang 2 jam perjalanan.

asik makan
Merasa aman sesampai di pos Paltuding, langsung saja memesan tempat menginap dan mengisi perut yang mulai keroncongan. Pilihan jatuh di warung bu Im yang kebetulan masih kerabat pak Bibit. Bu Im menyambut saya ramah seperti sudah lama saling mengenal. Sepertinya warung bu Im ini adalah meeting point para supir dan orang-orang yang berhubungan dengan Kawah Ijen. Suasana malam hari di warung bu Im masih ramai orang yang bermain kartu atau sekedar menghangatkat badan di depan tungku hingga pagi menjelang. 

Waktu menunjukkan pukul dua dinihari, para pekerja tambang belerang mulai naik ke kawah meski udara dingin dan malam pekat. Saya mencoba mengikuti para penambang dan pengangkut belerang naik, namun apa daya, ditengah perjalanan saya tak kuat. Akhirnya saya putuskan untuk kembali dan kembali naik keesokan paginya ^^. 

Jam 5 pagi, banyak mobil pengantar bule berdatangan (hanya bule, tak ada wisatawan domestik kecuali sopir dan guide). Segera saya beranjak dari peraduan dan bergegas menuju warung bu Im mengisi amunisi. 

Untuk melihat kawah ijen, saya harus berjalan sejauh 3,8 km ditempuh selama 2 jam Hufhh.. berbeda dengan perjalan malam yang sempat saya coba, perjalanan di pagi hari saya tidak merasa ngos-ngosan lagi, hanya kaki saja yang sudah merasa nyut-nyutan dan pegal. Pemandangan menuju kawah sangat indah, kita bisa melihat semenanjung Blambangan dan matahari terbit dari ketinggian.

Sepertinya cuaca tak merestui saya untuk melihat keindahan kawah Ijen. Kepulan asap dan kabut putih menutupi kecantikan kawah Ijen. Pantas saja para bule segera beranjak turun hanya setelah beberapa menit di kawah. Saya pun tak menyera, menunggu kepulan asap putih terbang menyibak tabir. hufff, tak berhasil.. saya hanya bisa mencuri-curi pandang kawah ijen dibalik asap dan kabut. Akhhirnya saya memutuskan untuk turun saja. 

Agak kecewa,  tapi saya mendapat banyak cerita dari tempat ini; tentang penambang belerang dan orang yang mencari penghidupan di Kawah ijen. Perjalanan ke Kawah Ijen sepertinya memang harus MAHAL ^^

mengabadikan diri ^^
semenanjung Blambangan dari Ijen
ditinggal pemikulnya



Budget dari kota Banyuwangi
  • angkutan menuju terminal Karang Perot: 3.000 
  • Karang Perot-Desa Jambu: 25.000 cring**
  • Desa Jambu-Paltuding: 20.000 cring**
  • Penginapan: 100.000 cring** (katanya sih bisa dinego seharga 50rb)
  • Sovenir belerang aneka bentuk @ 5.000
  • ojek Paltuding menuju Sempol Bondowoso 40.000 cring** (kalau yang ini mahal banget... sumpah)
  • Sempol-Situbondo 20.000

No comments:

Post a Comment

toelis komentarmu