Tuesday, July 13, 2010

Karena Entrok....

cover novel Entrok


Bermula dari “entrok” bahasa jawa untuk menyebut BH, terkesan aneh karena sudah jarang sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari. Berkisah tentang Sumarni, gadis kecil jawa tak pernah merasakan bangku sekolah yang hidup serba kekurangan. Sangat bersukur bisa makan ala kadarnya dengan menjadi buruh kupas singkong di pasar. Tapi Sumarni kecil tak mau menerima takdir hidupnya begitu saja, yakin dengan kerja keras peras keringat dan tirakat untuk mencapai kejayaan. Memiliki sebuah entrok adalah ambisinya. “entrok” adalah barang mewah yang tak semua orang bisa pakai karena tak sanggup membeli. Entrok adalah simbol kemewahan, kebanggaan dan kejayaan. Bermula dari entrok lah kejayaan dan semuanya diraih.


Dalam novel perdana Okky Madasari, tak sekedar berbicara satu persoalan namun banyak peristiwa yang menciptakan ruang dan waktu. Membawa kita menyelami masa silam (1950-1999), menembus lorong sejarah manusia Indonesia. Sindiran terhadap militerisme Orde Baru dengan kuasa PKI-isasinya. Perjuangan hidup perempuan jawa dibawah todongan senjata orang yang punya kuasa. Dan membawa pada gambaran hidup yang serba ruwet dan kompleks tak berkesimpulan. Cerita lika-liku orang jawa yang lebih suka munafik untuk mencari aman.

“Pasar adalah dunia perempuan” kata Arswendo dalam novel Canting memang benar adanya. Perempuan berjaya saat di pasar, ia memainkan peran penting perputaran roda ekonomi pasar. Saat dirumah ia menjadi istri dan abdi keluarga, bekerja keras bahkan lebih dari laki-laki. Gambaran ini juga sepenuhnya dilakoni Sumarni, ialah tulang punggung sesungguhnya bagi keluarga. Suaminya Sutejo hanyalah kuli yang membantu mengangkat dagangan, hanya statusnya saja suami.

Sebagai perempuan jawa yang hidup dalam masyarakat patriarki, Sumarni sadar betul masyarakatnya tak adil terhadap perempuan. Soal upah buruh misalnya, buruh perempuan hanya mendapat setengah lebih sedikit dari yang didapat buruh laki-laki. Begitu juga dengan soal warisan masih banyak ketimpangan yang dialami perempuan.

Orde Baru dengan militernya memang masih punya gigi pada masanya, media masa dibuat tak punya suara. Semua rakyat harus patuh atas nama pemerintah agar tidak dicap PKI, masuk penjara dan mati sia-sia. Kuasa militer atas nama pemerintah menciptakan pusaran setan yang sesungguhnya mencekik rakyat dan bukannya menjadi pelindung bagi rakyat. Incaran militer hanya uang, masalah sebesar apapun akan selesai dengan uang. Dan kalau tak ada masalah rakyat pasti akan dibuat bermasalah, ujungnya juga uang. Rakyat sipil adalah tumbal empuk bagi orang bersenjata yang punya kuasa. Dan yang membuatku terbahak-bahak membaca novel ini adalah ketika orang-orang militer kehabisan alasan menjawab pertanyaan dan sanggahan kaum sipil, mentok dengan jawaban “ini perintah, wong sudah aturan kok.........” (hahhahaha... )

Satu lagi, novel ini tidak hanya bercerita soal Sumarni, turut juga lakon Rahayu, anak semata wayang Sumarni menjadi orang modern yang dibesarkan dengan pendidikan sekolah. Justru karena pendidikan sekolah ia buta terhadap dunia kejawen dan keyakinan orang tuanya. Rahayu semakin membenci ibunya justru lewat ajaran dari gurunya; menyembah leluhur dan membuat sesajen itu syirik, orang jualan duit (rentenir) adalah lintah darat, mencekik leher orang susah. Bangku sekolah membuat Rahayu terasing dari kehidupan ibunya yang berkeyakinan pada apa yang disebutnya “gusti mbah ibu bumi bapa kuasa,” Tuhan yang ia tuju untuk nyuwun. Ibunya, Sumarni tak mengenal Tuhan selain gusti “mbah ibu bumi bapa kuasa” keyakinan yang ia warisi dari simboknya. Salahkah jika berbeda keyakinan? Hingga anak dan ibu pun tak perlu terpisah...

1 comment:

  1. karena entrok bermula dari uang. uang adalah segalanya...
    http://www.facebook.com/notes/jack-ahmad-khotim-muzakka/pentas-uang/453917345010

    ReplyDelete

toelis komentarmu