reruntuhan |
Tentu saja #27Mei 6
tahun lalu bukan hari bahagia bagi masyarakat Jogja, banyak yang kehilangan
anggota keluarganya, rumah dan segala macam harta benda. Jogja lumpuh total,
hanya berisi ratapan kesedihan dan puing-puing. Semua aliran listrik padam, tak
ada suara nyinyir televisi, hanya ada suara siaran radio dan raungan sirine
ambulance yang hilir mudik di jalanan Jogja.
Lalu sedang apa saya
saat gempa jogja? -pasir waktu membawa ke dalam ingatan 6 tahun silam,
mengenang 51 detik yang mematikan. Saya tinggal di Sapen, sebelah barat SD
Muhamadiya persis. Saya dan Fahim menghunii kamar lantai 2 paling ujung depan.
Ketika itu saya masih semester 2, sedang mempersiapkan ujian di hari Senin
lusanya. Pagi setelah subuh saya tidak kembali menarik selimut seperti
hari-hari sebelumnya. Untungnya, ada kekuatan lain yang mendorong saya untuk
mengambil buku bacaan filsafat Islam lalu menuju lorong depan televisi
bertengger, lurus dengan tangga.
05.45 perut saya mules,
menuntut saya harus ke WC menunaikan ritual pagi. Tak disangka, 51 detik
mematikan itu tepat ketika saya berada di ruangan 1x1, sedang jongkok menikmati
ritual membuang isi perut. Tiba-tiba ada getaran kecil selama beberapa detik..
ah tenang batinku, dan saya tetap tidak beranjak, tak merasa panik. Detik
berikutnya getaran berubah menjadi goncangan hebat, saya merasa
digoncang-goncang dalam kotak. Barulah saya sadar kalau gempa ini sudah tak
main-main lagi. Saya berusaha keluar WC, goncangan dahsyat membuat saya susah
membuka pintu. Berhasil keluar, air tandon yang ada di atap kamar mandi
mengguyurku seperti air terjun. tubuh saya terpental-pental di lorong kos,
seketika itu goncangan berakhir. Masih berada di lorong, saya mendengar suara
Fahim memanggil-manggil nama saya berulang Fika.. fika... dengan nada
khawatir. Ternyata Fahim sudah berada di lantai 1 menyelamatkan diri bersama
penghuni kos yang lain.
Saya tak langsung turun
ke lantai satu saat goncangan selesai, kembali ke WC mengambil sesuatu :p. Lalu
menyempatkan ke kamar untuk mengambil henpon dan dompet milikku dan
Fahim. Ketika membuka pintu: Alamak..!! atap kos sudah bolong, genteng dan
internit semua rontok menimpa semua barang-barang kami. Suasana kamar yang
biasanya temaram berganti terang, kami bisa melihat langit. Air dalam teko
membanjiri lantai yang sudah dipenuhi campuran debu, buku, dan pecahan genteng.
Setelah mengais-ngais
sembari mengingat ingat dimana saya meletakkan dompet dan henpon, lalu mencari
properti milik Fahim. Saya langsung memakai jaket dan kerudung yang tergantung
dibalik pintu, lalu turun ke bawah dan bergabung bersama penghuni kos. Langsung
saja saya menghampiri Fahim yang mukanya sudah memucat, -sehari-hari dia memang
sudah pucat :p. Kuserahkan dompet milk teddy dan henpon siemen milikknya.
Sesaat kemudian saya masih sempat menerima telepon dari Fatimah, kawan yang
tinggal di Jakarta, suara Fatimah cekikikan di seberang, sama seperti hari
sebelum-sebelumnya ketika ia menelepon kami. Rupanya ia belum tahu, fenomena
dahsyat yang baru saja menggoncang Jogja. Setelah itu, jaringan komunikasi
selain telepon kabel lumpuh total, semua henpon tak berguna.
Gempa susulan masih saja
sering mampir, banyak cerita pribadi penghuni kos meluncur dari bibir-bibir
yang shock. Termasuk cerita atap kamar saya yang bolong. Bowo dan kakaknya,
anak induk semang, heboh menyaksikan kondisi rumah mereka dari jalan lalu
cekikikan terbengong-bengong. Ah, mereka ini belum ngerti betapa susahnya orang
membangun rumah.
Jalanan ramai, semua
orang tumpah disana. Saling bertukar kabar dan ketakutan. Bangunan UIN runtuh,
rumah pak A dan B rata dengan tanah de el el. 30 menit kemudian rumor berantai
tsunami sampai di telinga kami. Ada laki-laki hitam kurus dan pengikutnya
berlari kencang meneriakkan air-air dan mengarahkan telunjuknya ke selatan. Segera
saja kami melarikan diri bersama warga menuju arah utara tanpa pikir panjang.
Napas kami terengah-engah, sembari mengingat kejadian serupa sebelumnya yang
menerjang Aceh. Pikiran kami penuh dengan hal-hal yang menyeramkan saat itu.
Kami menjauhi pemukiman
padat menuju jalan Solo yang sudah penuh manusia. Masa manusia mulai tenang,
mobil patroli polisi meluruskan kabar tak benar soal tsunami dengan pengeras
suara, ah.. kami lega. Langkah gontai kembali diayunkan menuju rumah kos.
*foto: vlisa.kom
No comments:
Post a Comment
toelis komentarmu