Saturday, May 26, 2012

#27Mei, 6 Tahun yang lalu

gempa jogja, memori korban gempa, 27 mei
reruntuhan
Tentu saja #27Mei 6 tahun lalu bukan hari bahagia bagi masyarakat Jogja, banyak yang kehilangan anggota keluarganya, rumah dan segala macam harta benda. Jogja lumpuh total, hanya berisi ratapan kesedihan dan puing-puing. Semua aliran listrik padam, tak ada suara nyinyir televisi, hanya ada suara siaran radio dan raungan sirine ambulance yang hilir mudik di jalanan Jogja.

Lalu sedang apa saya saat gempa jogja? -pasir waktu membawa ke dalam ingatan 6 tahun silam, mengenang 51 detik yang mematikan. Saya tinggal di Sapen, sebelah barat SD Muhamadiya persis. Saya dan Fahim menghunii kamar lantai 2 paling ujung depan. Ketika itu saya masih semester 2, sedang mempersiapkan ujian di hari Senin lusanya. Pagi setelah subuh saya tidak kembali menarik selimut seperti hari-hari sebelumnya. Untungnya, ada kekuatan lain yang mendorong saya untuk mengambil buku bacaan filsafat Islam lalu menuju lorong depan televisi bertengger, lurus dengan tangga.


05.45 perut saya mules, menuntut saya harus ke WC menunaikan ritual pagi. Tak disangka, 51 detik mematikan itu tepat ketika saya berada di ruangan 1x1, sedang jongkok menikmati ritual membuang isi perut. Tiba-tiba ada getaran kecil selama beberapa detik.. ah tenang batinku, dan saya tetap tidak beranjak, tak merasa panik. Detik berikutnya getaran berubah menjadi goncangan hebat, saya merasa digoncang-goncang dalam kotak. Barulah saya sadar kalau gempa ini sudah tak main-main lagi. Saya berusaha keluar WC, goncangan dahsyat membuat saya susah membuka pintu. Berhasil keluar, air tandon yang ada di atap kamar mandi mengguyurku seperti air terjun. tubuh saya terpental-pental di lorong kos, seketika itu goncangan berakhir. Masih berada di lorong, saya mendengar suara Fahim memanggil-manggil nama saya berulang Fika.. fika... dengan nada khawatir. Ternyata Fahim sudah berada di lantai 1 menyelamatkan diri bersama penghuni kos yang lain.

Saya tak langsung turun ke lantai satu saat goncangan selesai, kembali ke WC mengambil sesuatu :p. Lalu menyempatkan ke kamar untuk mengambil henpon dan dompet milikku dan Fahim. Ketika membuka pintu: Alamak..!! atap kos sudah bolong, genteng dan internit semua rontok menimpa semua barang-barang kami. Suasana kamar yang biasanya temaram berganti terang, kami bisa melihat langit. Air dalam teko membanjiri lantai yang sudah dipenuhi campuran debu, buku, dan pecahan genteng.

Setelah mengais-ngais sembari mengingat ingat dimana saya meletakkan dompet dan henpon, lalu mencari properti milik Fahim. Saya langsung memakai jaket dan kerudung yang tergantung dibalik pintu, lalu turun ke bawah dan bergabung bersama penghuni kos. Langsung saja saya menghampiri Fahim yang mukanya sudah memucat, -sehari-hari dia memang sudah pucat :p. Kuserahkan dompet milk teddy dan henpon siemen milikknya. Sesaat kemudian saya masih sempat menerima telepon dari Fatimah, kawan yang tinggal di Jakarta, suara Fatimah cekikikan di seberang, sama seperti hari sebelum-sebelumnya ketika ia menelepon kami. Rupanya ia belum tahu, fenomena dahsyat yang baru saja menggoncang Jogja. Setelah itu, jaringan komunikasi selain telepon kabel lumpuh total, semua henpon tak berguna.

Gempa susulan masih saja sering mampir, banyak cerita pribadi penghuni kos meluncur dari bibir-bibir yang shock. Termasuk cerita atap kamar saya yang bolong. Bowo dan kakaknya, anak induk semang, heboh menyaksikan kondisi rumah mereka dari jalan lalu cekikikan terbengong-bengong. Ah, mereka ini belum ngerti betapa susahnya orang membangun rumah.
Jalanan ramai, semua orang tumpah disana. Saling bertukar kabar dan ketakutan. Bangunan UIN runtuh, rumah pak A dan B rata dengan tanah de el el. 30 menit kemudian rumor berantai tsunami sampai di telinga kami. Ada laki-laki hitam kurus dan pengikutnya berlari kencang meneriakkan air-air dan mengarahkan telunjuknya ke selatan. Segera saja kami melarikan diri bersama warga menuju arah utara tanpa pikir panjang. Napas kami terengah-engah, sembari mengingat kejadian serupa sebelumnya yang menerjang Aceh. Pikiran kami penuh dengan hal-hal yang menyeramkan saat itu.

Kami menjauhi pemukiman padat menuju jalan Solo yang sudah penuh manusia. Masa manusia mulai tenang, mobil patroli polisi meluruskan kabar tak benar soal tsunami dengan pengeras suara, ah.. kami lega. Langkah gontai kembali diayunkan menuju rumah kos. 

*foto: vlisa.kom
 

No comments:

Post a Comment

toelis komentarmu