Saturday, January 30, 2010

Bilangan FU; membumikan "makna" dengan satra



"Dan panggullah kebenaran itu agar jangan ia jatuh ke tanah dan menjelma hari ini. Sebab ia hanya akan menjelma kekuasaan. Biarlah kebaikan saja yang menjelma hari ini." Bilangan Fu, Ayu Utami

itulah kata-kata Ayu dalam penggalan novelnya, kata-kata tersebut cukup mewakili apa yang terjadi pada hari-hari sekarang di tanah air. Peristiwa kekerasan atas nama agama di silang Monas mencetak potret buram kondisi toleransi masyarakat terhadap "the others". Adanya sikap "truth claim" dan konsep "kebenaran tunggal" dalam pikiran pemeluk agama monoteis menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, hari ini agama telah menjelma sebagai tameng politik untuk menguasai dan merobohkan penghalang-penghalangnya. Apakah untuk itu agama didirikan?
Tokoh Parang Jati, Yudha, dan pemuda Kupu-kupu yang mengisi alur penting dalam cerita novel ini. Parang Jati dengan pengetahuan kearifan lokalnya dan kelebihan yang melekat padanya. Yudha si penakhluk tebing berotak modern dan pemuda Kupu-kupu alias Farisi yang berambisi meraih popularitas dan menganut pandangan konservatif. Ketiganya merupakan kombinasi yang sudah biasa ada di komunitas masyarakat kita. Namun, menjadi menarik ketika ketiganya beradu argumen tentang kebenaran yang "satu". Yudha dengan bilangan Fu-nya yang didapatinya melalaui mimpi-mimpi sebulnya, Parang Jati dengan filosofi bilangan Hu dan bagi Kupu-kupu, bilangan satu adalah sebagai angka satu matematis.
Dalam novel ini, Ayu secara cerdas menghadirkan isu lingkungan yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Dengan mendekonstruksi mitos-mitos klasik dan kisah pewayangan lalu merekatkannya dengan sejarah pusaka alam kita, gunung, laut dan perbukitan. Bagi orang sekarang kebanyakan, akan sangat sulit menerima mitos sebagai pengetahuan dan dokumen sejarah yang perlu dilestarikan. Karena, sekali lagi mitos tidak bisa dibaca mengunakan kacamata "modern" melainkan hanya bisa dibaca dengan kearifan lokal dan sikap satriya lan wigati.
Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami ini mencoba memberikan pencerahan baru dalam kehidupan spiritualitas kita agar tidak kering makna. sekaligus menawarkan sikap religius ataupun spiritualisme yang kritis. Ringkasnya, novel ini mewakili sikap kritis Ayu terhadap 3M (modernisme, monoteisme, dan militerisme).
Dengan adanya modernisme, seakan-akan semuanya harus rasional dan empiris. Sehinga harus mengenyampingkan dan menganggap tak ada hal yang tak nampak di pelupuk mata. Mitos merupakan dongeng anak yang akan beranjak tidur dan hanya pantas dinikmati oleh imajinasi anak-anak. Bagi modernisme kearifan lokal menjadi sebuah "ketololan" yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Akhirnya, manusia tak lagi menjaga alam yang menjadi teman hidupnya di dunia. Ulah-ulah manusia modern sendiri yang telah mencederai kelestarian alam dengan motif uang. Dan kearifan lokal hanya menjadi "wisata unik" karena tak lagi mudah didapati di masyarakat.
Bagi Ayu, agama monoteis sering mengklaim ajaranyalah yang paling benar. Kebenaran adalah satu matematis dan memberangus tanpa kompromi yang berbeda darinya. Sesungguhnya, apakah agama monoteis sebagai agama langit bisa dipahami seperti itu? Dalam novel Ayu digambarkan bahwa agama langit (monoteis) tidak cocok untuk bumi, melainkan agama bumi (baca: kearifan lokal) sendirilah yang cocok untuk bumi.
Dan militerisme sekarang tidak hanya disandang oleh orang-orang militer sesungguhnya. Bahkan oleh orang-orang sipil yang suka bertindak main hakim sendiri karena tidak puas terhadap sikap aparat yang "mendiamkannya".
Bilangan Fu Ayu Utami memang menyimpan banyak kearifan yang sudah lama terpikirkan. Pengalaman-pengalaman yang telah dilaluinya dan cerita-cerita yang didengarnya menjadi sumber inspirasinya. Usahanya untuk membumikan makna kebenaran yang relatif dan bersifat "menunda" tidak lantas menganggap yang lain salah, dan tetaplah kebenaran ada dimana-mana. Bagi Ayu, cukuplah kebaikan bukan "kebenaran" yang ada hari ini.
sebenarnya tulisan ini ditulis untuk sebuah buletin, tapi karena beberapa hal tidak jadi diterbitkan. so, daripada mubazir, lebih baik tulisan ini tampil di blog, ya... hanya sekedar buat menuh-menuhin blog. hehehe... ^_^

Tuesday, January 26, 2010

Menghantar Matahari di Keraton Ratu Boko



Kali ini adalah kunjungan keduaku ke ratu boko. Ratu boko merupakan keraton tempat tinggal para bikkhu yang dibangun di atas bukit dengan pemandangan menawan. Waktu sore adalah waktu yang tepat untuk berkunjung kesana. Selain tidak terlalu panas (di sini tak ada yang menawarkan jasa sewa payung seperti d Prambanan, hehehe..), juga waktu yang tepat untuk menyaksikan matahari terbenam secara live.






rute perjalanan kita kali ini tidak melewati jalan
yang biasanya ditempuh alias mblusuk-mblusuk menyusuri jalan kampung meski tetap membayar retribusi masuk candi. Ternyata ratu boko tidak terlalu jauh dari rumah dosenku, Pak Mansur (tengkyu pak ^_^), setidaknya tidak perlu jalan jauh muter-muter. Yup, setelah mengira-ngira jalan menuju bukit dan mengikuti arah papan penunjuk jalan. "deng...deng.." ternyata langsung menuju loket masuk. "Taraaaa..." biaya yang harus dikeluarkan per-orang adalah IDR 12.000 cring** plus parkir motor tentunya (sebenaranya ada jalan tikus yang tidak melewati loket masuk, tapi males ah...).

Jalanan menuju Ratu Boko masih naik yah kira-kira setengah kilo dari loket masuk (ihh... lebayy). da
ri kejauahan sudah terlihat gerbang pintu masuk menuju keraton. Benar-benar elok, cocok bagi para penggila foto (akhir-akhir ini aq jg masuk dlm kategori ini, ^_^). setelah puas berfoto ria, langsung saja menyelusuri keseluruhan bagian keraton, mulai kanan ada alun-alun mini, pendopo keraton keputren yang ada kolam-kolam penampungan airnya dan memutar balik lagi menuju candi pembakaran yang ada sumur tuanya. konon sumur ini mengandung misteri (kata brosurnya sih) percaya gak percaya harus percaya deh.....

Di candi pembakaran inilah tempat paling pas menyaksikan sunset. arsitektur bangunannya yang tinggi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran mayat. Bukannya terlihat menyeramkan, tapi justru menyuguhkan pemandangan yang luar biasa elok dan lepas. Gerbang masuk candi terlihat cantik bersanding dengan matahari senja dan mendung *_*(sayang dah gak bs foto2 lg hikz..). waktu menghantar matahari.