Monday, April 30, 2012

Aku & kamu adalah kita Lalu kami





saya teringat kata "aku dan kamu" di timeline twitter-mu tadi pagi. 

Kemarin, beberapa bulan yang lalu memang saya sempat menghubingimu via sms, beruntung meskipun saya tak menyimpan nomor Hpmu di phonebook, tapi nomormu masih tersimpan rapi dalam memori otakku. Beruntung lagi ketika kau membalas pesan pendekku dengan pertanyaan kunci. "siapa nama anaknya mbak Nurul?" :D

Akhirnya, memang saya sedang merindukan kamu dan masalalu, kemudian berandai-andai dan menduga-duga. Sampailah pada hari awal bulan April dan kemarin, kita sama-sama menginginkan kebersamaan. Lalu apalagi? tentu saja kau dan aku akan kemana? menjadi kawan seperjalanan untuk selama beberapa bulan atau selamanya?

Ahay.. kami hanya ingin berencana, meneruskan sisa perjalanan yang dulu sempat terbengkalai untuk beberapa saat. "..yang lalu biarlah menjadi masalalu, kami adalah masa depan. Masalalu cukup menjadi pelajaran" itu katamu.

Saat ini hari-hariku tak lagi kosong, karena aku memilikimu beserta semua warnamu. Banyak hal yang kugantungkan padamu.

Jawa dan Pekarangan

Masyarakat Jawa pada umumnya memiliki pekarangan dalam kompleks rumah tinggalnya. Dulu, saya hampir menjumpai pekarangan di setiap rumah di dusunku. Banyak ragam tanaman yang ada di pekarangan, mulai dari tanaman bumbu dapur, obat-obatan hingga buah-buahan seperti jambu, mangga, rambutan dan pisang. Nampaknya, tradisi pekarangan sekarang ini kurang diminati oleh masyarakat Jawa. Mungkin karena lahan yang semakin sempit, beralih fungsi menjadi pemukiman. Taman bunga mungkin lebih menarik...

Padahal, jika kita pikir-pikir ulang, pekarangan bagi keluarga Jawa sangat penting. Pekarangan ada untuk menunjang kebutuhan konsumsi keluarga. Mereka tak perlu jauh-jauh membeli ke warung ataupun swalayan jika mereka butuh sesuatu. Mereka tidak perlu merogoh kocek untuk membeli lauk-pauk dan bumbu, cukup dari pekarangan.

Hikmahnya, mereka juga hafal khasiat dan kegunaan tanaman. tentunya pengetahuan tentang khasiat dan kegunaan tanaman diwariskan ke anggota keluarga yang lainnya.

Sekarang tentu jaman sudah berubah, masyarakat jawa yang agraris berubah menjadi masyarakat industri dan kantoran. mereka lebih senang jauh-jauh ke swalayan, naik mobil, memasuki mall, naik eskalator hanya untuk membeli seikat bayam :D

Negeri kita ini subur, semua bahan makanan tidak perlu kita beli.

Tuesday, April 24, 2012

Sajian Khas Suroloyo

Suroloyo merupakan sebuah nama puncak bukit di Kulonprogo. Konon puncak Suroloyo merupakan lokasi pertapaan favorit Sultan Agung, raja Mataram. Dari ketinggian puncak Suroloyo, kita bisa juga menyaksikan kemegahan candi Boroburur. Borobudur nampak seperti teratai yang sedang mekar di rerimbun hijau tanaman.

Selain keindahan pemandangan yang ditawarkan, ada juga sajian minuman kopi dan teh disana. Sebagai dataran tinggi, puncak Suroloyo sangat potensial ditanami kopi robusta dan teh. Belum lagi disana banyak sekali penganan olahan desa yang enak dan sehat seperti keripik gadung, keripik daun singkong, dan keripik daun pegagan.

Tak perlu jauh-jauh pergi ke puncak Suroloyo untuk menikmati sajian ala kampung diatas. Semuanya tersedia di kota Jogja, tinggal meluncur ke arah pojok benteng wetan keraton di Jl. Paris no. 3.

"Kafe Kopi Rebus Puncak Suroloyo"
Sent from my BlackBerry® via Smart 1x / EVDO Network. Smart.Hebat.Hemat.

Monday, April 16, 2012

Mengintip dari Bukit Turgo

Merapi dari puncak bukit Turgo

Memasuki kawasan bukit turgo, jalanan aspal yang kami lalui berubah menjadi jalanan setapak tanah. "bekas rumah terbakar lalu ambil jalan kanan sampai ketemu tiga plang papan ambil jalan kiri" begitu petunjuk yang diberikan ibu warga dusun yang kami titipi motor. kami datang berempat kesini demi memenuhi keinginan berziarah salah satu teman. saya sendiri tidak tahu apa keinginan saya sebenarnya; mungkin hanya ingin menatap pemandangan dari ketinggian, sekedar ingin menginjakkan kaki, ziarah, atau mengadukan isi hati demi ketenangan jiwa.

Wangi tanah basah sehabis hujan dan kami pun mengikuti jalan setapak dan arah yang diberikan ibu penjaga. dari kejauhan samar-samar wangi dupa tercium, semakin kuat wanginya ketika kami berjalan maju. Tak lama, kami menemukan kembang setaman dan dupa yang terbakar separuh di sisi kiri jalan. Kami tak punya banyak waktu untuk berhenti, meski napas ngos-ngosan langkah kami harus terus karena hari semakin sore. kami tak boleh terlalu malam di atas.

Sepanjang jalan yang kami lalui ada bunga putih berguguran, menambah suasana khat tempat ini, memikat. Bersama aroma alami kami semakin bersemangat meraih puncak, menyatukan diri dengan alam. Banyak saksi bisu sisa keganasan awan panas Merapi yang kami temui disini, termasuk tanah merah seperti batu bata raksasa.  Meski banyak tikungan yang mirip  dan suasana  yang itu-itu saja kami yakin akan sampai di atas.

Dan.. suasanapun beralih ke pemandangan  gunung Merapi yang bersembunyi dibalik rerimbunan tanaman. Hari itu Merapi sangat cantik, tak ada sapuan kabut dan mendung di sekelilingnya. Mulai ada tanaman hijau yang menutupi wajah abu-abunya.  Sampai puncak Turgo, kami dimanjakan oleh eloknya Merapi. Rasa lelah dan napas tersenggal-senggal kami pun hilang.

Di puncak Bukit Turgo, kami menyempatkan bertahlil di Maqam Syeh Jumadil Kubro. Sesekali mengambil foto lalu asyik sendiri menikmati senja dan Jogja yang tengah dilanda Mendung.

Menit terakhir disana aku berdoa; "wahai Tuhan yang maha gaul, aku ingin Kau berbuat yang seadil-adilnya untukku. Aku ingin lelaki brengsek seperti badman diganjar sesuai dengan kadar kebrengsekannya. ganjarlah ia dengan luka yang juga pernah ia berikan padaku. amin...."

Makam Syekh Jumadil Kubro di puncak Turgo