Thursday, June 20, 2013

Sebuah Catatan untuk Abu Rizal Bakrie

Sabtu malam 15 Juni lalu, saya mendapat undangan untuk mengikuti sarasehan yang diadakan oleh Tv One bekerja sama dengan Obrolan Media Jogja sebagai patner lokal, bertempat di Zango Resto. Sarasehan ini adalah satu diantara rangkaian acara di Jogja. Sebelumnya ada lomba blog dengan tema "Aku Ingin Jogja.." dan rencananya nama pemenangnya akan diumumkan malam itu. Puji Syukur, saya mendapat juara untuk kategori tulisan terbaik.

Awalnya, saya sempat bingung dengan undangan panitia, judul undangannya adalah "Kopi Darat Blogger" tapi sesampai di acara berubah menjadi "Ayo Rembug Jogja". Setelah acara berjalan, tenyata judulnya adalah sarasehan bersama Bapak Abu Rizal Bakrie (ARB). Panggung pun resmi menjadi milik beliau. 

Tentu, kopi darat berbeda dengan rembug bareng, berbeda lagi dengan sarasehan. Jika kopi darat blogger maka panggung acara menjadi milik para blogger untuk berbagi terkait blog dan tema. Jika temanya adalah "Ayo rembug Jogja" mengapa isi pembicaraannya juga jauh dari obrolan tentang Jogja? Ah, saya jadi bingung mendefinisikan acara ini, mungkin judul acara yang tepat adalah "Sarasehan; tanya-jawab bersama ARB."

Ups.. ada yang hampir terlewat. Saya bertanya-tanya mengapa ada Nia Ramadhani beserta Ardhi Bakrie duduk didepan bersama ARB? Sedang mereka tidak berbicara apapun di forum, sedang fokus seratus persen berada di ARB. Hanya sebatas pajangan dan pemanis karena sang mantu adalah artis papan atas? Salah besar tuan, menempatkan Nia Ramadhani didepan sama dengan menerapkan teori anjing kurap, alias pengalihan fokus perhatian. Terbukti ketika saya menemui kicauan di twitterland salah satu peserta yang hadir, "Nia Ramadhani pancen ayu tenan..." artinya Nia Ramadhani memang cantik sungguh. Woow peserta rembug lebih tertarik memperhatikan Nia sang mantu jelita daripada mengikuti arah obrolan. Boomerang!

Baiklah kita lewati saja hal yang membuat bingung.
***

Sebagai rakyat jelata, tentu saya senang memperoleh kesempatan bertemu dengan orang TOP papan atas seperti ARB. Apalagi beliau adalah salah satu politisi yang memploklamirkan dirinya sebagai calon presiden Indonesia 2014. Ini adalah tatap muka pertama saya dengan beliau. 

Pandangan pertama, saya melihat ARB adalah sosok yang perhatian. Pertama kali beliau datang lalu memasuki ruangan acara, beliau langsung menyapa satu persatu peserta yang hadir disana. Yah, meski tak semua orang bisa dijangkau, tapi begitulah seharusnya seorang calon pemimpin. 

Sebagai ibu rumah tangga yang hanya menguasai wilayah domestik rumah, tentu saya bingung dengan masalah-masalah yang dipertanyakan oleh peserta yang hadir. Obrolan berkaitan dengan isu-isu besar seperti politik, lumpur Lapindo, ekonomi makro, stabilitas keamanan dan lain-lain yang memang tidak saya kuasai. dan akhirnya saya memilih untuk diam di pojokan heuheuheu...

Tanpa ingin berburuk sangka dengan isu-isu yang akhir-akhir ini melanda beliau, kesan saya ARB adalah orang yang baik. Tapi toh orang baik, juga tak selamanya benar di mata saya. Ada beberapa hal yang mengganjal di hati dan pikiran saya yang harus saya utarakan. Semoga bisa memberikan kontribusi untuk ARB dan masa depan Indonesia yang lebih baik.

***
Catatan Kecil untuk ARB

Bukannya saya sok tahu dan tidak bermaksud sok tahu, tapi saya belajar dari pengalaman saya selama berdekatan dengan isu "buruh migran" sebelumnya. Setelah ada seorang peserta yang mempertanyakan pendapat beliau terkait Indonesia sebagai negara pengekspor terbesar Tenaga Kerja Indonesia (TKI)? dan ARB pun menjawab; jika menjadi TKI bukanlah hal yang memalukan, mereka adalah pahlawan devisa bagi Indonesia. Lihat saja mereka bisa membangun rumah-rumah yang bagus di desa asal mereka. Begitu testimoni ARB yang saya tangkap. *Deg... bagi saya, pendapat ARB soal TKI ini cukup "berbahaya" dan belum menjawab akar persoalan dan solusi per-TKI-an.

Pertama, terkait pemakaian bahasa TKI daripada BMI. Istilah Buruh Migran Indonesia (BMI) memang tak sepopuler TKI, tapi istilah BMI lebih manusiawi ketimbang istilah TKI. Ada politisasi dalam istilah TKI, dalam istilah TKI manusia hanya di hargai tenaganya saja tanpa mengindahkan hak-haknya sebagai pekerja. Selain itu logika bahasa untuk menyebut pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai TKI juga tidak tepat. Berbeda dengan pemakaian istilah BMI, pekerja indonesia yang ada di luar negeri adalah buruh yang juga harus dilindungi, dijunjung hak-haknya.

Kedua, terkait akar permasalahan BMI. Memang menjadi BMI bukanlah hal yang memalukan, semua usaha yang halal mencari nafkah adalah hal terpuji. Tapi, tahukah ARB mengapa banyak masyarakat kita menjadi BMI? jawabannya adalah karena tidak ada lapangan pekerjaan yang bisa memberi nafkah untuk mereka. Mereka adalah orang-orang yang "kalah" dan tersingkir baik karena nasib modal tidak berpihak atau karena mereka tidak punya keterampilan lebih dan pengetahuan lebih. Akhirnya, menjadi babu dan buruh di negeri orang adalah pilihan terbaik menurut mereka.

Ketiga, saya gusar dengan testimoni ARB "mereka bisa membangun rumah bagus". Bagi saya BMI membangun rumah bagus pasca menjadi buruh di negeri orang adalah masalah dan salah satu penyakit kronis masyarakat kita. Bagaimana tidak? setelah uang mereka habis untuk membangun rumah mewah, mereka tak ada uang lagi untuk melanjutkan hidup di negerinya, dan akhirnya mereka kembali menjadi BMI. Kembali menjadi sapi perah calo-calo, PPTKIS, dan oknum-oknum negara. Kembali mengahadapi kerasnya hidup di negeri orang, dan berbagai resiko yang bahkan berujung pada hilangnya nyawa. Begitu seterusnya, begitu uang ada akan habis untuk keperluan konsumsi yang tidak ada habisnya. Ada baiknya jika uang yang diperoleh selama menjadi BMI digunakan sebagai modal usaha, agar tidak lagi kembali mengais receh-receh ringgit dan real di negeri orang. Ingat pepatah, lebih baik hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang.

Saat ini, perlindungan pemerintah terhadap BMI memang sangat lemah, karena undang-undang kita (UU no. 39 th. 2004) lebih banyak mengatur penempatan daripada perlindungan BMI. Belum lagi ulah oknum-oknum yang sengaja mengambil untung dari keberadaan BMI.



Ps: Ditulis di tengah kebingungan saya menjawab pertanyaan "bagaimana pendapat anda tentang acara kemarin di Zango resto?"

No comments:

Post a Comment

toelis komentarmu