Thursday, June 13, 2013

Aku Ingin Jogja, Aku Ingin Kota Multikultural

Saya memang bukan orang yang lahir dan besar di Jogja, tapi saya tumbuh dan berkembang di Jogja. Masa-masa kecil dan remaja saya habiskan di Jawa Timur, setelahnya saya berhijrah ke Jogja. Sudah 8 tahun ini saya menjadi penghuni Jogja bersama jutaan pendatang dari penjuru nusantara dan dunia yang datang dan pergi silih berganti. Bagi Saya, Jogja adalah kampung halaman kedua. Jogja memang kota yang ramah dan terbuka bagi siapapun dari berbagai latarbelakang. Suasana Jogja, budayanya, dinamika kehidupan orang-orangnya membuat nyaman siapapun orang yang singgah disini, berlama-lama seperti saya ini :)

Sedari dulu saya diperkenalkan oleh guru saya kalau Jogja adalah kota yang multikultur, tak hanya ada orang Jawa dengan budayanya tapi juga orang luar dengan tradisinya. Jadi bersiaplah untuk berbaur, berinteraksi dengan penuh toleransi dan sedikit ego superioritas, -begitu nasihat sang guru kepada saya 8 tahun yang lalu.

Sebagai orang luar Jogja, izinkanlah saya menilai dan memandang Jogja dengan kacamata saya. Maafkanlah saya jika "kurang ajar" menempelkan kata "multikultural" untuk Jogja. Sedikit lancang memang, tapi toh sekarang jamannya bebas berekspresi dan berpendapat. Jamannya mau ngritik tinggal klik kicauan.

Saya tak mau membahas panjang lebar apa itu Multikulturalisme dengan ke"sok-tahuan" saya. Bagi saya teori multikulturalisme cukuplah dibaca di buku. Bagi saya multikulturalisme itu sangat sederhana. Kita berbaur dengan beragam manusia dari suku, budaya, identitas, dan latarbelakang yang berbeda lalu menghasilkan dinamika yang harmoni. Multikulturalisme bukan produk barat -hanya saja bahasanya yang kebarat-baratan *eh- 
Ibarat makanan multikulturalisme ala barat adalah jus buah yang tak kelihatan identitas jenis buah-buahannya, tomat-apel-strawberry dkk. berbaur menjadi satu. Sedangkan multikulturalisme ala Jogja adalah ibarat gado-gado, tomat-selada-telur-mentimun masih bisa dibedakan, hanya direkatkan dengan tepo selira saos kacang.

***

Multikulturalisme dalam Makanan
Jogja tidak hanya dipenuhi dengan beragam orang serta budayanya, tapi juga makanannya. Tak terhitung jumlah ragam masakan nusantara yang ada di Jogja. Mulai dari masakan Khas Aceh, Padang hingga masakan khas Makasar, dari masakan India sampai Eropa semua ada disini. Jogja bak etalase makanan nusantara sekaligus dunia.

Orang dari berbagai penjuru membawa serta tradisi makanannya ke Jogja. Memodifikasi agar sesuai dengan lidah orang Jogja atau pencicipnya. Maka jadilah Jogja sebagai dapur yang ramah bagi lidah dan perut kaum pribumi maupun non-pribumi. Surga bagi petualang kuliner icip-icip.

Keragaman makanan ini juga salah satu perekat jogja dengan pendatang Jogja. Orang asing yang lidahnya tidak compatible dengan masakan Jogja bisa memilih makanan lain. Semua beragam makanan dengan segala kelezatan tersedia di jogja.

Meski diserbu dengan penganan dari penjuru daerah, masakan Jogja tetap menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri. Masih banyak makanan khas Jogja seperti gudeg, sate klathak, bakpia, geplak, tempe gebleg dan makanan ala angkringan yang dijajakan di setiap sudut Jogja. Bahkan warung yang menyajikan tradisi makanan beserta budaya Jogja juga banyak diminati turis-turis yang ingin tahu.

Multikulturalisme Komunitas
Percaya atau tidak, sangat banyak komunitas di Jogja. Mulai komunitas yang mengatasnamakan agama, budaya, daerah, kesenian, disiplin ilmu dan hobi. Komunitas dengan segala identitas dan latarbelakang tersebut menghasilkan berbagai aksi. Mulai dari aksi budaya berupa atraksi kesenian maupun karya destilasi yang mengharumkan nama Jogja di jagad internasional.

Saya sendiri kagum dengan banyaknya komunitas yang tumbuh di Jogja. Dari komunitas-komunitas tersebut saya banyak belajar banyak hal, mereka memberikan saya pengalaman berharga yang bisa diteladani. Komunitas menjadi sekolah kedua bagi saya, karena disana saya bisa bertukarpikiran dan bertemu dengan banyak orang dengan segudang pengetahuan dan inspirasi. Jogja memang layak menyandang predikat kota pelajar dan budaya.

Keramahan Jogja mengundang keberagaman yang bisa diolah untuk menghasilkan budaya baru dan kreatifitas. Jogja telah membuktikannya.

***

Merawat Jogja sebagai kota multikultural
Sebagai kota yang dihuni banyak orang dari banyak latarbelakang, tak juga merubah identitas Jogja. Jogja tetaplah Jogja yang berhati nyaman untuk siapapun. Hanya saja Jaman menuntut perubahan disana-sini sesuai dengan kebutuhan.


Sekarang, semua orang dari berbagai penjuru dan latarbelakang ada di Jogja. Predikat Jogja sebagai kota pariwisata, kota pelajar, kota budaya, dan banyak predikat lainnya menyumbang keragaman yang tak harus disikapi sinis. Justru Keragaman inilah yang harus dikelola agar menghasilkan harmoni, budaya baru yang mencerminkan keramahtamahan Jogja.

Jogja telah membuktikan dirinya sebagai kota multikultur dengan keberagaman yang hidup disini. Sikap terbuka dan keramahan Jogja menghasilkan sesuatu yang baru dari keragaman yang ada tanpa ada gesekan keras.  Toleransi atau tepo seliro dalam bahasa Jawa, sopan-santun, merupakan sikap yang harus dijaga untuk merawat keragaman yang ada. Agar tak ada yang harus dikorbankan, tak ada kekerasan. Meski kita semua harus menerima perubahan disana-sini, karena perubahan adalah hal yang pasti.

Tak ada yang saya berikan untuk Jogja, sebaliknya banyak hal yang diberikan Jogja untuk saya. Maka saya tak ingin menuntut banyak Jogja utuk harus begini-begitu. Saya ingin mencintai Jogja dengan sederhana, apa-adanya, mencintai Jogja dengan segala baik-buruknya.

Banyak alasan orang untuk betah tinggal di Jogja, karena Jogja itu komplit banget...

Salam cinta 
untuk kampung halaman keduaku,
Jogja


Post scriptum; tulisan ini dibuat untuk lomba blog yang diadakan oleh @ObrolanMediaJog dengan tema #AkuInginJogja...

1 comment:

  1. Jogja itu kota kecil, tapi memiliki banyak keistimewaan. Buat saya, kota Jogja adalah miniatur Indonesia.

    ReplyDelete

toelis komentarmu