Saturday, July 30, 2016

Cerita Lebaran Asyik: antara Jogja & Malang

mudik naik kereta api tut..tut..tut
Mudik di hari raya Idul Fitri mungkin suatu kata yang selalu dinantikan umat muslim Indonesia di setiap tahunnya. Bagaimana tidak? Lebaran adalah momen ketika semua anggota keluarga berkumpul, pulang ke kampung halaman, bersilaturahmi, berbagi, dan ketika semua orang berada di tempat asalnya masing-masing. Siapapun mereka yang hidup di perantauan, mereka yang punya kampung halaman pasti nelangsa kalau tak bisa mudik lebaran. Lalu biasanya mereka hanya bisa sungkem, bermaaf-maafan lewat sambungan telepon dengan orang terkasih. Acapkali saya mendapati tanggisan haru bercampur dengan penyesalan.

Untung bukan saya, meski selalu mudik tiap tahunnya, meski tidak selalu di hari pertama Idul Fitri, lebaran di kampung halaman adalah suatu hal yang perlu diperjuangkan, bahkan ketika tunjangan hari raya (THR) suami tidak cair hehehe... Untuk itu saya perlu persiapan yang matang, bahkan setahun sebelumnya saya sudah mulai mencicil mempersiapkan dana khusus untuk mengisi pernak-pernik bulan Ramadhan dan lebaran. Jadi beginilah bedanya lebaran saya dulu semasa masih lajang dan sudah menikah.

Menikah berarti mempunyai tanggung jawab lebih kepada sesama, termasuk kepada orang tua. Setelah menikah otomatis kewajiban kita terhadap orang tua menjadi lebih banyak tinimbang hak kita sebagai anak. Ya itulah yang saya rasakan, dulu sih merasa cuek saja ketika saya tidak mempunyai sesuatu lebih untuk dibagi. Kalau sekarang, saya merasa harus ada yang bisa kita berikan ke orang tua, harus ada yang bisa kita bagi untuk sanak saudara meski itu sedikit. Dan alhamdulillah Allahu Akbar, Allah selalu melapangkan rizki umatnya yang sudah berumahtangga dan berniat berbagi. Rizki Allah mengalir dari segala penjuru dan dari arah yang tidak disangka-sangka. Dana tahunan tersimpan di tabungan, THR kalau ada, dan bonus tambahan dari kolega tentunya kalau ada.
Saya sendiri baru mengalami mudik tiga kali, sejak bersuami. Kampung halaman saya di Malang, saya dan suami tinggal di Jogja, begitupun dengan keluarga besar suami ada di Jogja. Pilihannya adalah berlebaran di mana? di Jogja kah atau di kampung halaman saya di Malang.

Lebaran pertama di Jogja: Culture Shock
Awalnya berlebaran pertama kali di Jogja tak membuat saya merasa berbeda dengan berlebaran di Malang. Orang bersalaman, bermaaf-maafan, kumpul keluarga, makan bersama, bersilaturahmi. Semua sama kecuali satu, yaitu tradisi sungkeman. Di kampung saya Malang, sungkeman waktu lebaran cukup dengan bersalaman lalu ijab kabul, meminta maaf dan dimaafkan. Bahkan terdengar seperti soal yang mudah, sepele dan cepat berlalu.

Tradisi sunggkeman di Jogja tidak begitu, orang yang lebih muda berkunjung ke saudara yang lebih tua. Yang muda sungkem ke yang lebih tua, tentu saja ijab kabulnya berbeda. Saya sempat gerogi karena suami saya belum pernah melatih saya untuk sungkeman ala Jogja, mungkin ia pikir tradisi sungkeman dimanapun sama. Dan benar saja, sewaktu saya sungkeman pertama kali di keluarga besar suami saya gerogi mengucap kata-kata. Semoga saja keluarga besar suami mengira saya sangat menghayati sunggkeman sampai belepotan mengucap kata hehehe..

Karena kata-kata asli sungkeman ala Jogja lumayan panjang dan memakai bahasa jawa halus, saya memilih yang simpel-simpel saja contohnya "ngaturaken sugeng riyadi minal 'aidin wal faizin sedoyo lepat nyuwun panggapunten" mengucapkan selamat idul fitri minal 'aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin. Lalu orang yang saya sungkemi akan mengabulkan permohonan maaf saya, memberi doa dan nasehat hidup.

Sekarang saya masih muda, masih belum menjadi orang tua yang dituakan. Sungkeman membuat saya banyak merenung dalam. Kalau nanti saya tua, akankah saya siap memberi nasehat dan tentu saja menjadi suri tauladan yang baik untuk anak-anak kelak. Memberi nasehat tentu saja saya sudah menjalani dan mengamalkannya. Menjadi tua harus mulai berbenah dan menanta diri.
Sungkeman keluarga besar di Malang
wefie edisi idul fitri

Tradisi Kupatan
Saya tumbuh di lingkungan keluarga abangan dan santri, yang saya tahu, kaum abangan bermain dengan simbol yang mempunyai makna. Salah satunya adalah ketupat yang berarti "kula ngaku lepat" atau saya mengaku salah. Di kampung saya di Malang, ketupat bersama lepet, lontong dan lodeh sayur dibuat sepekan setelah Idul Fitri. Setelah kupat masak akan dibagi ke tetangga sekitar. Keluarga yang sudah membuat ketupat bisa jadi diartikan sudah menutup waktu lebaran. Bahkan ada keluarga yang sudah membuat ketupat dalam sepekan Idul Fitri, karena mungkin ada anggota keluarga mereka yang akan kembali ke perantauan, kembali beraktifitas seperti biasanya.

Tahun ini saya tak mendapati banyak ketupat, mungkin hanya dua atau tiga porsi saja. Belakangan mama saya memberi tahu kalau tradisi kupatan terlalu merepotkan. Mama saya tahun ini juga tidak membuat ketupat karena terlalu sibuk membantu persiapan beberapa tetangga yang punya hajatan secara bersamaan. mungkin juga tetangga lupa karena sibuk dengan hajat masing-masing sehingga lupa memasak ketupat. Semoga tradisi ini tidak punah karena banyak anak muda yang tidak bisa membuat ketupat, lepet dan lontong. Tapi meskipun saya tidak banyak makan ketupat seperti lebaran sebelumnya, saya tetap bersyukur karena setidaknya kadar kolestrol dalam darah masih terkontrol hehehe...

Alhamdulillah 'ala kulli haal lebaran kali ini saya masih diberikan kesempatan umur sehingga bisa bersilaturrahmi, mudik, berbagi ke sesama dan membaktikan diri ke orang tua. Semoga lebaran tahun depan juga masih diberi kesempatan. Amin

oh yaa, bagi kamu yang ada atau kebetulan berada di Jakarta dan sekitarnya, akan ada event Hari Hijaber Nasional di tanggal 7-8 agustus di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Akan ada pesohor yang hadir di acara tersebut. Kalau jarak Jogja-Jakarta cuma bisa ditempuh dalam lima menit dan kalau ada tiket pesawat gratis pasti saya tak akan melewatkan untuk datang kesana hehehe



*tulisan ini diikut sertakan dalam lomba blog "CERIA: cerita lebaran asik" yang diadakan oleh @Diaryhijaber

Thursday, February 12, 2015

Pramku

Namanya Pramudya Alif al-Ghifary, baru setahun yang lalu ia lahir. Melengkapi kebahagiaan keluarga besar kami, cucu pertama laki-laki dalam keluarga saya. Serba yang pertama

20 agustus 2013 beberapa hari setelah libur lebaran usai, saya masih sibuk menyiapkan perhelatan selamatan ke -100 hari wafatnya buyut. Masih lincah kesana kemari dengan perut besar. Mencari kinangan untuk sandingan, menyiapkan apem, lantas membuat kopi dan teh. Waktu begitu cepat berlalu hingga acara selamatan selesai, tinggal beberes dan membersihkan sisa-sisa nasi yang menempel pada karpet. 

Waktu itu sudah tiga minggu lamanya tidak memeriksakan kandungan saya ke bidan, cukup lama untuk ukuran hamil tua. Kecuali hanya beberapa kali iseng diperiksa oleh kakak sepupu saya yang kebetulan bidan dan perawat. Janin sudah pada posisinya, dan sudah memasuki pelvis ibu. Dengan perkiraan berat 3kg, cukup besar. Mama saya minta tolong ke om saya untuk mengantar kontrol ke bidan. Kebetulan jarak nya lumayan jauh; lintas kampung. Sesampainya disana bukan bidan yang saya tuju yang memeriksa kandungan, melainkan asistennya. Agak kurang yakin dengan diagnosisnya, namun saya iyakan saja apapun perkataannya. Seperti untuk tidak mengkonsumsi vitamin c lebih dari 1000 gram, meminum vitamin otak, dan tentu saja hari perkiraan lahir (HPL) bayi saya yang masih lama sehingga asisen bidan tersebut meminta saya untuk datang kembali 2 minggu kemudian.

Pemeriksaan berjalan lancar, tak ada satupun berita mengejutkan soal tanda-tanda si bayi akan lahir, jadi biasa saja.  Mama saya jadi tak semangat meneruskan pertanyaan soal si bayi, lantas bersiap tidur saking capeknya seharian sibuk di dapur. Pekerjaan menyiapkan dagangan pasar pun beralih ke saya. 

Sambil melahab habis cenil yang saya beli sepulang dari bidan tadi saya melanjutkan pekerjaan rumah. Berhenti sebentar karena sayerasakan pegal lalu keluar rumah melihat keramaian yang ada. Beberapa ibu-ibu berlatih baris berbaris untuk lomba 17-an agustus. Suasana riuh, suara peluit ditiup tanda komando, hentakan kaki dan tawa canda bocah berlarian. Malam itu saya masih sempat bertemu dengan tetangga, berbicara soal perut dan tanda akan melahirkan. Sempat berebut tempat duduk dengan si Mohan. Dan akhirnya saya kembali pulang, mengerjakan bungkus membungkus.

Selesai dengan pekerjaan bungkus-bungkus, saya bersiap tidur. Aneh, biasanya saya mudah tidur terlelap tapi tidak malam itu. Sebentar-sebentar terbangung, punggung berasa pegal. Waktu itu saya masih terpikir kalau pegal yang saya rasa adalah efek duduk terlalu lama. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 1.30 pagi. Mama dan papa terbangun bersiap ke pasar. Saya mulai merasa mulas tiap seperempat jam sekali. Tapi saya masih ragu apakah ini pertanda kontraksi atau bukan. Lalu beberapa saat kemudian saya merasa ada sesuatu yang keluar dari vagina, dan benarlah saya mulai flek pembukaan pertama. Tanpa ragu lagi saya langsung bergegas memberi tahu mama saya. Tanpa berniat membuat heboh isi rumah, tapi ternyata memang harus heboh yaa.. Papa saya panik mencari kunci mobil, lalu kunci garasi. Mama saya sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa. Lalu acara ke pasar pun gagal, demi cucu pertama.

Dan akhirnya saya sudah berada di dalam mobil. Melaju menuju rumah kakak saya di kepanjen. Ada banyak alasan kenapa saya ingin melahirkan di tempat praktik kakak saya. Bukan bidan dekat rumah ataupun rumah sakit. 

***
Singkat cerita, oh ternyata begini rasanya melahirkan. Mulas amat menyiksa yang pernah kuras sepanjang hidup. Setengah mampus menahan mulas selama kurang lebih 4 jam. Masih tergolong singkat. Olala...  selama 4 jam saya mondar-mandir mengelilingi rumah, melihat Shafa yang tengah tidur pulas di kamarnya, menimbang badan jumbo saya sembari ngemil, makan sepuasnya, lalu muntah, boker sembari menahan mulas. Kembali keliling rumah dan saya selalu meringkuk di lantai ketika mulas kembali datang. 

Pukul 06.00 akhirnya, Shafa dan Aan sudah rapi berseragam, bersiap berangkat sekolah. Begitu juga kakak ipar saya, mas Watik. Bersiap dengan baju kebesaran prajurit. Papa saya sudah pulang ke rumah sedari tadi subuh. 

06.10 hanya ada mama dan mbak di rumah, sementara saya berada di ruang bersalin sendirian. Hingga saya merasa ada yang mendorong isi perut ke vagina, tapi masih saya tahan. Spontan saya teriak "mbak Titi..iki ono sing metu!!" Mbak saya bergegas datang, cekatan khas seorang Bidan, disusul mama saya yang masih kriyip-kriyip dari dalam kamar Shafa. Hampir pembukaan penuh kata mbak saya, itu artinya saya segera bersiap, tak lama lagi saya segera menimang bayi, menjadi ibu.

Hal horor yang saya takutkan sama sekali tak terjadi, bahkan jarum suntik yang biasanya nyeri sama sekali tak berasa suntikannya, masih kalah sakit dibanding nyeri mulas dan kontraksi vagina. Oh ternyata sesakit ini rasanya melahirkan. Ampun maa..!! Karena ketuban belum pecah, akhirnya dipecah untuk mempermudah proses persalinan. Dan saatnya tiba untuk mengejan, butuh tenaga ekstra, perjuangan sampai nafas terakhir.

Ternyata tak butuh waktu lama mengejan, bayi 3 Kg ditarik keluar begitu kepala bayi sudah berada di luar. Diiringi tangis bayi yang begitu memecah keheningan. Mama saya bahagia tak terkira karena tahu cucu pertamanya ternyata laki-laki sehat wal-afiat.



Saya tak perlu berlama-lama lagi di rumah kakak, keluarga besar di rumah sudah menunggu. Ingin tahu paras keluarga baru mereka. Saya segera di boyong ke rumah

Tuesday, September 10, 2013

Selamat Satu Tahun pernikahan

Pagi tadi kamu masih tidur disampingku, lalu nanti sore si ular besi telah mengantarmu kembali ke Jogja. Rasanya masih tadi pagi kita berbincang, kembali mengenang momen bahagia setahun lalu. Tepat hari ini kamu mengucap janji suci di depan penghulu, kedua orangtuaku, dan kedua orangtuamu.

Menikah memang bukan kata kerja yang mudah, menikah bukan hanya soal "ranjang" bukan? Tentu kau masih ingat tentang pertengkaran kecil kita soal bagaimana harus bersikap. Atau aku yang selalu cerewet soal kebiasaan-kebiasaanmu yang membuat aku gerah. Atau keadaan paceklik yang hampir membuat dapur kita berhenti mengepulkan asap. Beruntung semuanya bisa kita lewati bersama, puji syukur.

Kamu adalah lelakiku yang paling sabar dan paling mengerti, meski aku suka ngambek. Tapi kau tetap tak berhenti merayuku agar tetap menjadi perempuanmu yang manis.

Tahun ini adalah tahun kedua pernikahan kita. Ada hadiah istimewa yang harus kita rawat dan besarkan bersama. Manusia kecil buah cinta kita. Kau sudah menjadi seorang ayah dan aku menjadi ibu.

Selamat satu tahun pernikahan sayang. Semoga Tuhan senantiasa mengucurkan berkah untuk keluarga kecil kita. Amin

I love you both; Ayah & Al
Sent from my BadakBerry® alhamdulillah sinyal kenceng :)

Thursday, June 20, 2013

Sebuah Catatan untuk Abu Rizal Bakrie

Sabtu malam 15 Juni lalu, saya mendapat undangan untuk mengikuti sarasehan yang diadakan oleh Tv One bekerja sama dengan Obrolan Media Jogja sebagai patner lokal, bertempat di Zango Resto. Sarasehan ini adalah satu diantara rangkaian acara di Jogja. Sebelumnya ada lomba blog dengan tema "Aku Ingin Jogja.." dan rencananya nama pemenangnya akan diumumkan malam itu. Puji Syukur, saya mendapat juara untuk kategori tulisan terbaik.

Awalnya, saya sempat bingung dengan undangan panitia, judul undangannya adalah "Kopi Darat Blogger" tapi sesampai di acara berubah menjadi "Ayo Rembug Jogja". Setelah acara berjalan, tenyata judulnya adalah sarasehan bersama Bapak Abu Rizal Bakrie (ARB). Panggung pun resmi menjadi milik beliau. 

Tentu, kopi darat berbeda dengan rembug bareng, berbeda lagi dengan sarasehan. Jika kopi darat blogger maka panggung acara menjadi milik para blogger untuk berbagi terkait blog dan tema. Jika temanya adalah "Ayo rembug Jogja" mengapa isi pembicaraannya juga jauh dari obrolan tentang Jogja? Ah, saya jadi bingung mendefinisikan acara ini, mungkin judul acara yang tepat adalah "Sarasehan; tanya-jawab bersama ARB."

Ups.. ada yang hampir terlewat. Saya bertanya-tanya mengapa ada Nia Ramadhani beserta Ardhi Bakrie duduk didepan bersama ARB? Sedang mereka tidak berbicara apapun di forum, sedang fokus seratus persen berada di ARB. Hanya sebatas pajangan dan pemanis karena sang mantu adalah artis papan atas? Salah besar tuan, menempatkan Nia Ramadhani didepan sama dengan menerapkan teori anjing kurap, alias pengalihan fokus perhatian. Terbukti ketika saya menemui kicauan di twitterland salah satu peserta yang hadir, "Nia Ramadhani pancen ayu tenan..." artinya Nia Ramadhani memang cantik sungguh. Woow peserta rembug lebih tertarik memperhatikan Nia sang mantu jelita daripada mengikuti arah obrolan. Boomerang!

Baiklah kita lewati saja hal yang membuat bingung.
***

Sebagai rakyat jelata, tentu saya senang memperoleh kesempatan bertemu dengan orang TOP papan atas seperti ARB. Apalagi beliau adalah salah satu politisi yang memploklamirkan dirinya sebagai calon presiden Indonesia 2014. Ini adalah tatap muka pertama saya dengan beliau. 

Pandangan pertama, saya melihat ARB adalah sosok yang perhatian. Pertama kali beliau datang lalu memasuki ruangan acara, beliau langsung menyapa satu persatu peserta yang hadir disana. Yah, meski tak semua orang bisa dijangkau, tapi begitulah seharusnya seorang calon pemimpin. 

Sebagai ibu rumah tangga yang hanya menguasai wilayah domestik rumah, tentu saya bingung dengan masalah-masalah yang dipertanyakan oleh peserta yang hadir. Obrolan berkaitan dengan isu-isu besar seperti politik, lumpur Lapindo, ekonomi makro, stabilitas keamanan dan lain-lain yang memang tidak saya kuasai. dan akhirnya saya memilih untuk diam di pojokan heuheuheu...

Tanpa ingin berburuk sangka dengan isu-isu yang akhir-akhir ini melanda beliau, kesan saya ARB adalah orang yang baik. Tapi toh orang baik, juga tak selamanya benar di mata saya. Ada beberapa hal yang mengganjal di hati dan pikiran saya yang harus saya utarakan. Semoga bisa memberikan kontribusi untuk ARB dan masa depan Indonesia yang lebih baik.

***
Catatan Kecil untuk ARB

Bukannya saya sok tahu dan tidak bermaksud sok tahu, tapi saya belajar dari pengalaman saya selama berdekatan dengan isu "buruh migran" sebelumnya. Setelah ada seorang peserta yang mempertanyakan pendapat beliau terkait Indonesia sebagai negara pengekspor terbesar Tenaga Kerja Indonesia (TKI)? dan ARB pun menjawab; jika menjadi TKI bukanlah hal yang memalukan, mereka adalah pahlawan devisa bagi Indonesia. Lihat saja mereka bisa membangun rumah-rumah yang bagus di desa asal mereka. Begitu testimoni ARB yang saya tangkap. *Deg... bagi saya, pendapat ARB soal TKI ini cukup "berbahaya" dan belum menjawab akar persoalan dan solusi per-TKI-an.

Pertama, terkait pemakaian bahasa TKI daripada BMI. Istilah Buruh Migran Indonesia (BMI) memang tak sepopuler TKI, tapi istilah BMI lebih manusiawi ketimbang istilah TKI. Ada politisasi dalam istilah TKI, dalam istilah TKI manusia hanya di hargai tenaganya saja tanpa mengindahkan hak-haknya sebagai pekerja. Selain itu logika bahasa untuk menyebut pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai TKI juga tidak tepat. Berbeda dengan pemakaian istilah BMI, pekerja indonesia yang ada di luar negeri adalah buruh yang juga harus dilindungi, dijunjung hak-haknya.

Kedua, terkait akar permasalahan BMI. Memang menjadi BMI bukanlah hal yang memalukan, semua usaha yang halal mencari nafkah adalah hal terpuji. Tapi, tahukah ARB mengapa banyak masyarakat kita menjadi BMI? jawabannya adalah karena tidak ada lapangan pekerjaan yang bisa memberi nafkah untuk mereka. Mereka adalah orang-orang yang "kalah" dan tersingkir baik karena nasib modal tidak berpihak atau karena mereka tidak punya keterampilan lebih dan pengetahuan lebih. Akhirnya, menjadi babu dan buruh di negeri orang adalah pilihan terbaik menurut mereka.

Ketiga, saya gusar dengan testimoni ARB "mereka bisa membangun rumah bagus". Bagi saya BMI membangun rumah bagus pasca menjadi buruh di negeri orang adalah masalah dan salah satu penyakit kronis masyarakat kita. Bagaimana tidak? setelah uang mereka habis untuk membangun rumah mewah, mereka tak ada uang lagi untuk melanjutkan hidup di negerinya, dan akhirnya mereka kembali menjadi BMI. Kembali menjadi sapi perah calo-calo, PPTKIS, dan oknum-oknum negara. Kembali mengahadapi kerasnya hidup di negeri orang, dan berbagai resiko yang bahkan berujung pada hilangnya nyawa. Begitu seterusnya, begitu uang ada akan habis untuk keperluan konsumsi yang tidak ada habisnya. Ada baiknya jika uang yang diperoleh selama menjadi BMI digunakan sebagai modal usaha, agar tidak lagi kembali mengais receh-receh ringgit dan real di negeri orang. Ingat pepatah, lebih baik hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang.

Saat ini, perlindungan pemerintah terhadap BMI memang sangat lemah, karena undang-undang kita (UU no. 39 th. 2004) lebih banyak mengatur penempatan daripada perlindungan BMI. Belum lagi ulah oknum-oknum yang sengaja mengambil untung dari keberadaan BMI.



Ps: Ditulis di tengah kebingungan saya menjawab pertanyaan "bagaimana pendapat anda tentang acara kemarin di Zango resto?"

Thursday, June 13, 2013

Aku Ingin Jogja, Aku Ingin Kota Multikultural

Saya memang bukan orang yang lahir dan besar di Jogja, tapi saya tumbuh dan berkembang di Jogja. Masa-masa kecil dan remaja saya habiskan di Jawa Timur, setelahnya saya berhijrah ke Jogja. Sudah 8 tahun ini saya menjadi penghuni Jogja bersama jutaan pendatang dari penjuru nusantara dan dunia yang datang dan pergi silih berganti. Bagi Saya, Jogja adalah kampung halaman kedua. Jogja memang kota yang ramah dan terbuka bagi siapapun dari berbagai latarbelakang. Suasana Jogja, budayanya, dinamika kehidupan orang-orangnya membuat nyaman siapapun orang yang singgah disini, berlama-lama seperti saya ini :)

Sedari dulu saya diperkenalkan oleh guru saya kalau Jogja adalah kota yang multikultur, tak hanya ada orang Jawa dengan budayanya tapi juga orang luar dengan tradisinya. Jadi bersiaplah untuk berbaur, berinteraksi dengan penuh toleransi dan sedikit ego superioritas, -begitu nasihat sang guru kepada saya 8 tahun yang lalu.

Sebagai orang luar Jogja, izinkanlah saya menilai dan memandang Jogja dengan kacamata saya. Maafkanlah saya jika "kurang ajar" menempelkan kata "multikultural" untuk Jogja. Sedikit lancang memang, tapi toh sekarang jamannya bebas berekspresi dan berpendapat. Jamannya mau ngritik tinggal klik kicauan.

Saya tak mau membahas panjang lebar apa itu Multikulturalisme dengan ke"sok-tahuan" saya. Bagi saya teori multikulturalisme cukuplah dibaca di buku. Bagi saya multikulturalisme itu sangat sederhana. Kita berbaur dengan beragam manusia dari suku, budaya, identitas, dan latarbelakang yang berbeda lalu menghasilkan dinamika yang harmoni. Multikulturalisme bukan produk barat -hanya saja bahasanya yang kebarat-baratan *eh- 
Ibarat makanan multikulturalisme ala barat adalah jus buah yang tak kelihatan identitas jenis buah-buahannya, tomat-apel-strawberry dkk. berbaur menjadi satu. Sedangkan multikulturalisme ala Jogja adalah ibarat gado-gado, tomat-selada-telur-mentimun masih bisa dibedakan, hanya direkatkan dengan tepo selira saos kacang.

***

Multikulturalisme dalam Makanan
Jogja tidak hanya dipenuhi dengan beragam orang serta budayanya, tapi juga makanannya. Tak terhitung jumlah ragam masakan nusantara yang ada di Jogja. Mulai dari masakan Khas Aceh, Padang hingga masakan khas Makasar, dari masakan India sampai Eropa semua ada disini. Jogja bak etalase makanan nusantara sekaligus dunia.

Orang dari berbagai penjuru membawa serta tradisi makanannya ke Jogja. Memodifikasi agar sesuai dengan lidah orang Jogja atau pencicipnya. Maka jadilah Jogja sebagai dapur yang ramah bagi lidah dan perut kaum pribumi maupun non-pribumi. Surga bagi petualang kuliner icip-icip.

Keragaman makanan ini juga salah satu perekat jogja dengan pendatang Jogja. Orang asing yang lidahnya tidak compatible dengan masakan Jogja bisa memilih makanan lain. Semua beragam makanan dengan segala kelezatan tersedia di jogja.

Meski diserbu dengan penganan dari penjuru daerah, masakan Jogja tetap menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri. Masih banyak makanan khas Jogja seperti gudeg, sate klathak, bakpia, geplak, tempe gebleg dan makanan ala angkringan yang dijajakan di setiap sudut Jogja. Bahkan warung yang menyajikan tradisi makanan beserta budaya Jogja juga banyak diminati turis-turis yang ingin tahu.

Multikulturalisme Komunitas
Percaya atau tidak, sangat banyak komunitas di Jogja. Mulai komunitas yang mengatasnamakan agama, budaya, daerah, kesenian, disiplin ilmu dan hobi. Komunitas dengan segala identitas dan latarbelakang tersebut menghasilkan berbagai aksi. Mulai dari aksi budaya berupa atraksi kesenian maupun karya destilasi yang mengharumkan nama Jogja di jagad internasional.

Saya sendiri kagum dengan banyaknya komunitas yang tumbuh di Jogja. Dari komunitas-komunitas tersebut saya banyak belajar banyak hal, mereka memberikan saya pengalaman berharga yang bisa diteladani. Komunitas menjadi sekolah kedua bagi saya, karena disana saya bisa bertukarpikiran dan bertemu dengan banyak orang dengan segudang pengetahuan dan inspirasi. Jogja memang layak menyandang predikat kota pelajar dan budaya.

Keramahan Jogja mengundang keberagaman yang bisa diolah untuk menghasilkan budaya baru dan kreatifitas. Jogja telah membuktikannya.

***

Merawat Jogja sebagai kota multikultural
Sebagai kota yang dihuni banyak orang dari banyak latarbelakang, tak juga merubah identitas Jogja. Jogja tetaplah Jogja yang berhati nyaman untuk siapapun. Hanya saja Jaman menuntut perubahan disana-sini sesuai dengan kebutuhan.


Sekarang, semua orang dari berbagai penjuru dan latarbelakang ada di Jogja. Predikat Jogja sebagai kota pariwisata, kota pelajar, kota budaya, dan banyak predikat lainnya menyumbang keragaman yang tak harus disikapi sinis. Justru Keragaman inilah yang harus dikelola agar menghasilkan harmoni, budaya baru yang mencerminkan keramahtamahan Jogja.

Jogja telah membuktikan dirinya sebagai kota multikultur dengan keberagaman yang hidup disini. Sikap terbuka dan keramahan Jogja menghasilkan sesuatu yang baru dari keragaman yang ada tanpa ada gesekan keras.  Toleransi atau tepo seliro dalam bahasa Jawa, sopan-santun, merupakan sikap yang harus dijaga untuk merawat keragaman yang ada. Agar tak ada yang harus dikorbankan, tak ada kekerasan. Meski kita semua harus menerima perubahan disana-sini, karena perubahan adalah hal yang pasti.

Tak ada yang saya berikan untuk Jogja, sebaliknya banyak hal yang diberikan Jogja untuk saya. Maka saya tak ingin menuntut banyak Jogja utuk harus begini-begitu. Saya ingin mencintai Jogja dengan sederhana, apa-adanya, mencintai Jogja dengan segala baik-buruknya.

Banyak alasan orang untuk betah tinggal di Jogja, karena Jogja itu komplit banget...

Salam cinta 
untuk kampung halaman keduaku,
Jogja


Post scriptum; tulisan ini dibuat untuk lomba blog yang diadakan oleh @ObrolanMediaJog dengan tema #AkuInginJogja...

Wednesday, April 24, 2013

2 Jam di Banten Lama

Sehari sebelumnya saya bersama suami dan satu saudara menyisir sungai Ciberang di daerah Rangkasbitung, Banten. Malam harinya kami kembali ke kota Serang lalu bermalam disana.

Serang, ibukota propinsi Banten mengingatkan saya pada kota mukim "Balada si Roy"-nya Gol a Gong. Saya masih mengingat gambaran susana alun-alun kota. Pasar dadakan yang sekarang dikenal dengan daerah Royal, dan Banten lama. Ah, tempat terakhir ini yang akhirnya ingin saya jelajahi selain pemukiman Baduiy di Rangkasbitung.

Banten lama tak jauh dari kota Serang. Bisa ditempuh sekitar 15 menit menggunakan transportasi umum tujuan pelabuhan karang hantu. Pelabuhan ini dulunya merupakan pelabuhan internasional dimana banyak kapal dari berbagai negara melego jangkar. Tapi sekarang, seiring waktu dan pendangkalan sungai di Karang Hantu. Nama pelabuhan ini tenggelam namanya. Di peta dunia yang dibuat oleh Inggris pada tahun 1800-an mencantumkan nama Bantam untuk menandai keberadaan penting Banten di mata dunia internasional. WOW..

Angkot yang kami naiki melaju mendekati pantai utara jawa. Udara semakin panas karena matahari hampir berada diatas ubun-ubun, kami merasa telah berada di oven berjalan yang sesekali tergoncang-goncang karena banyak jalan berlobang. Beruntung di kanan dan kiri jalan masih ada beberapa pohon yang menawarkan kesejukan sekejap. Perjalanan menuju Banten lama, tak lama lagi setelah kami melintasi reruntuhan istana Kaibon, tempat tinggal ibunda sultan, Ratu Aisyah.

Angkutan yang kami tumpangi berhenti di samping benteng Surosowan, di seberang benteng masih terlihat kanal air yang kering melompong. Dari susunan batu-batanya terlihat jika kanal-kanal tersebut merupakan bagian dari infrastruktur kota Banten Lama. Tapi entahlah, mungkin dugaan saya salah. Dahulu saya pernah mendengar jika kanal-kanal sungai yang ada di Jawa digunakan sebagai jalur transportasi air, seperti di Majapahit.

Kami beralih menuju jalan setapak yang mengarah ke masjid agung Banten Lama. Kami harus memutari jalan yang sengaja dibuat berkelok-kelok oleh para pedagang yang menggelar dagangan di lapak-lapak semi permanen berterpal. Banyak penjual jasa tukar uang koin receh "untuk ngasih ke kotak amal atau pengemis mas.." Tukas penjualnya, 5000 rupiah untuk harga 4000 uang koin. Rekan saya menukar uang sepuluh ribuan dengan pecahan 200 perak, belakangan koin-koin tersebut samasekali tak terpakai di dalam hehe..hehe. Karena di dalam lebih banyak kotak amal liar yang ditunggui oleh pemuda berkopiah. Jadi, kami merasa sungkan jika memasukkan koin-koin 200 rupiah. Terpaksa uang pecahan duaribuan dan lima ribuan yang keluar dari saku. Ups..

Kami bergegas memasuki area masjid yang memiliki menara setinggi 18 meter. Dalam area masjid terlihat beberapa peziarah yang ingin ke makam keluarga pembesar Banten, beberapa penjual kantong kresek yang memaksa peziarah, dan beberapa pengemis yang mengiba. Penasaran dengan lanskap bekas kerajaan Banten, kami naik keatasnya. Tak ada loket masuk pengunjung memang, tapi ada kotak infaq (iuran faksa *eh) yang menghadang di pintu masuk menara. Sesampai diatas, kami juga masih dihadang lagi dengan kotak infaq. Olala..

Pemandangan Banten lama dari menara lumayan membantu kami menentukan destinasi berikutnya setelah masjid dan museum. Sejauh mata memandang terlihat pantai, reruntuhan benteng Surosowan, benteng Spelwijk, dan rumah warga yang terlihat kotak dari ketinggian. Turun dari menara, kami mengurungkan niat mengunjungi makam yang berada di sebelah masjid. Terlalu ramai hingga membuat antrean panjang dan deretan "pungutan liar" yang ada. Sempat bimbang, namun akhirnya langkah kami ayunkan menjauhi area masjid menuju reruntuhan dekat pantai yang ditunjuk salah satu rekan.

Inilah reruntuhan benteng Spelwijk, benteng yang dibangun menghadap pantai oleh Inggris. Di luar benteng terdapat bangunan tanpa pintu dan jendela, bangunan tersebut adalah pusara orang-orang inggris yang wafat disana. Terdapat prasasti di setiap bangunan, bahwa disini ada orang yang dimakamkan dan tanggal wafat orang tersebut. Kondisi benteng Spelwijk tak ada bedanya dengan reruntuhan lain yang ada di Banten, tak terawat. Bahkan hampir beralih fungsi menjadi lahan gembala ternak dan lapangan bola.

Well.. Daripada kami bengong memandangi reruntuhan yang bisu, kami menghampiri warung yang berada di sekitar benteng. Terlihat beberapa pekerja yang sedang mengambil rehat di tengah serbuan udara panas Banten. Mereka menyambut kami dengan ramah, khas orang desa.

Saya memulai obrolan seputar benteng Spelwijck, apa saja yang istimewa dan bagaimana cerita warga sekitar tentang benteng ini. Ternyata tak ada yang istimewa dari benteng ini. Obrolan beralih ke Makam orang-orang terdahulu dan beberapa yang dikeramatkan. Ada makam sesepuh orang Baduiy di sekitar sana, tapi warga menyarankan kami tak usah kesana karena bisa membawa petaka. Dan, satu lagi makam keluarga sultan yang ada di pulau sebrang. "Oh ya?" Kawan saya yang satu ini selalu tertarik dengan tempat ziarah baru yang jarang dikunjungi orang. Sayang tak ada angkutan ke pulau sebrang, kami harus menyewa kapal motor dari Karanghantu. Dan itu tidak murah :p

Jam tangan, sudah menunjukkan pukul 13.00 kami harus kembali ke Serang, menanti bus yang akan membawa kami pulang ke Jogja. I'll be back.. 
Benteng Surosowan dari ketinggian menara

makam kuno di benteng Spellwijck