Sunday, June 19, 2011

Kangen Pertunjukan yang Mencerahkan

(dari rumahmimpi.net)

Saat "Laskar dagelan" pentas di rumah sendiri kemaren  di Taman Budaya(14/6/2011). Saya juga ikut penasaran dengan aksi panggung mereka. Ternyata sangat menghibur, lucu khas guyonan Jogja yang kaya kosakata plesetan namun tak kosong dari kritik terhadap peristiwa teraktual. Laskar Dagelan berlatar keseharian masyarakat Yogyakarta pasca guncangan status keistimewaan dengan persoalan individu masing-masing lakon.

Karena jenis pertunjukan drama musikal plesetan, laskar dagelan berkolaborasi dengan group musik hip-hop Kill the Dj yang mengusung Hip-Hop jawa. Lirik-liriknya sangat jawa bahkan mayoritas liriknya diadopsi dari mantra kitab klasik jawa dan paribahasa jawa. Sungguh Jogja...

Salah satu isu yanng diusung Laskar Dagelan adalah status keistimewaan Jogja. Jogja memang istimewa, meskipun pemerintah mengulur status keistimewaan Jogja, Jogja tetap istimewa di mata masyarakat Indonesia. Jogja bukan sekedar kaya dengan budaya tradisional saja, tapi juga membuka diri untuk berbagai budaya dan kesenian. Kota ini terus tumbuh dan menjadi pionir budaya bagi Indonesia. Tidak istimewa dalam hal budaya, Jogja juga memiliki keistimewaan di bidang lainnya.


Hiburan masakini sudah banyak yang terkontaminasi hiburan ala televisi, sekedar hiburan tapi bebas pesan dan kritik terhadap kondisi kehidupan. Tontonan televisi tidak memberikan apa-apa kecuali hiburan semata.

Bagaimana dengan seni pertunjukan di daerah lain?
Dulu sewaktu kecil saya sangat suka melihat pertunjukan Ludruk. Ludruk adalah seni pertunjukan teater khas Jawa Timur yang terdiri dari banyak orang. Satu rombongan Ludruk bisa mencapai 50-an orang, terdiri dari pemain, penata musik, penata panggung dan lain-lain.

Karenanya ongkos untuk menanggap Ludruk lumayan mahal. Sekarang sangat pertunjukan Ludruk jarang sekali ditemui di Jawa Timur, karena tarif 'tanggapan' Ludruk sangat mahal. Akhirnya banyak group Ludruk yang gulung tikar dan pensiun dari panggung hiburan gara-gara jarang orang yang menanggap mereka.

Ludruk semasa Lekra menjadi ajang kritik sosial dan pendidikan politik yang bisa dinikmati rakyat jelata. Setelah Lekra dipaksa bubar di era Soeharto Ludruk kehilangan ruhnya. Setelah peristiwa berdarah 30 September 1965, semua seniman Ludruk dibina oleh ABRI. Semua kritik meski diatas panggung sandiwara tidak boleh menyentil pemerintahan Soeharto, rakyat dibiarkan bodoh dalam ketidaktahuannya. 

Sekarang, kesenian di daerah-daerah, terutama di daerah saya semakin sepi. Kesenian sudah mapan untuk hiburan semata, sengaja mengosongkan diri dari kritik sosial dan pendidikan untuk rakyat kecil. Akhirnya rakyat lebih memilih hiburan ala televisi yang murah meriah tapi merusak mental bangsa.

Well, saya rindu kesenian yang sarat kritik dan mendidik. Tapi bagaimana caranya agar kesenian yang mencerahkan rakyat bisa dinikmati tanpa merogoh kocek?

2 comments:

  1. jadi, maunya yang gretongan getoh?
    good job for postingannya.

    Rockeem, follow juga blog aku cuz. Balada seorang blogger pemula

    ReplyDelete
  2. Yaiyalah.. ingat! cm pendidikan model lawakan begini yang diterima rakyat. Rakyat cerdas hati senang. wes tak folow

    ReplyDelete

toelis komentarmu