Friday, April 1, 2011

Sejenak Bernostalgia di Parakan

Pecinan di Jl. Bambu runcing
Siang hari udara di Parakan masih segar, panas terik tak begitu terasa. Mungkin karena letaknya yang berada di bawah kaki gunung Sindoro-Sumbing. Aktifitas di pasar kayu di siang hari masih ramai, riuh rendah bersama suara kemerincing andong yang berlalu-lalang.

Dahulu, Parakan adalah pusat pemerintahan kabupaten Manoreh pada jaman kolonial Hindia Belanda. Semasa Kolonial Belanda, kota ini memegang peranan penting sebagai wilayah perkebunan, penghasil tembakau dan pusat administrasi. Jauh sebelum itu, Parakan adalah pusat peradaban pada masa kerajaan Mataram kuno. Sisa kejayaan Mataram Kuno  kini menyisakan bangunan candi Hindu di Dusun Pringapus, Gondosuli, dan jejak pemukiman Mataram kuno di Liyangan.  

Muasal nama Parakan sendiri berasal dari kata Parak atau Perek yang berarti ‘Kyai’, karena dahulu kala ada banyak parak yang bermukin di daerah sini. Mulanya tempat ini menjadi tempat pelarian ulama’ asal Yaman dan Parak pelarian saat Amangkurat II berkuasa. Parakan berubah menjadi ibukota kecamatan di bawah Temanggung setelah perjuangan pangeran Diponegoro kandas di tahun 1830.

Parakan kaya akan kenangan, di sepanjang jalan bambu runcing banyak ditemui bangunan tua berarsitektur China yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi gudang tembakau, Klenteng yang masih kokoh, gedung bioskop dan penghuninya. Di sinilah china town Parakan punya. Dulu disini juga dikenal pendekar kungfu asli santri Shaolin bernama Louw Djing Tie. Pendekar mengembara hingga sampai di Parakan dan mengajarkan Kungfu.

Masa Kolonial, masyarakat Parakan di bawah pimpinan Kyai Subkhi juga terkenal progresif melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hingga kini, nama Kyai Subkhi atau Subuki terkenang dalam ingatan masyarakat karena keampuhannya kebal dibedil. Ia dengan gagah berani bersama rakyat mengadapi Belanda hanya dengan persejataan bambu runcing. Sekarang kenangan tentang perjuangan Kyai Subkhi diabadikan dengan nama pondok "Kyai Parak Bambu Runcing."

Di sebelah Timur kota Parakan berdekatan dengan kali Galeh, masih bisa kita jumpai bangunan stasiun tua peninggalan Belanda. Dulu, stasiun tua ini tidak lagi digunakan semenjak peristiwa gunung Merapi bergejolak dan jembatan kali Galeh runtuh akibat terjangan banjir. Kabarnya stasiun dan rel kereta di Parakan akan difungsikan kembali. Tinggal membenahi besi rel untuk perlintasan dan jembatan yang melintasi kali Galeh kembali dibangun.

Parakan sebagai kota yang banyak melintasi waktu dan bersentuhan dengan berbagai budaya terhitung sudah matang. Kehidupan masyarakatnya harmoni, tidak terganggu dengan berbagai perbedaan yang ada. Hindu-Konghucu-Islam-Jawa dan Cina hidup rukun berdampingan. Temanggung dan dunia harus belajar dari Parakan.

bangunan stasiun tua tak terawat
Klenteng di ujung jl. Bambu runcing
pose


2 comments:

toelis komentarmu